shop-triptrus

Trips n Tips

5 Masjid Tertua Dan Bersejarah di Jakarta - Part 4

DKI Jakarta

TripTrus.Com - Ditengah hingar-bingar DKI Jakarta, masih banyak berdiri bangunan-bangunan bersejarah, salah satunya adalah Masjid. Berikut ini beberapa Masjid tua dan bersejarah yang masih kokoh berdiri di tengah angkuhnya ibu kota :

1. Masjid Langgar Tinggi, Pekojan

      View this post on Instagram

Memotret kerusakan pada bangunan cagar budaya Mesjid Langgar Tinggi di Pekojan lalu hrs ke pusat konservasi. Matahari lagi terik2nya. Untung persediaan masker bengkoang masih ada.😬😬 #masjidlanggartinggi #cagarbudaya #pekojan

A post shared by Tukang Foto Pemalas (@gemalaputri) onJul 19, 2018 at 4:41pm PDT

Pada papan di atas pintu masuk masjid ditulis bahwa Masjid Langgar Tinggi didirikan pada tahun 1249 H/1829 M. Namun menurut Adolf Heuken, seorang sejarawan yang banyak meneliti sejarah kota Jakarta, tahun 1249 H itu berbetulan dengan 1833 atau 1834 M, dan bukan 1829 M. Sehingga jika tahun Hijriyah yang dijadikan pedoman, maka paling jauh masjid itu didirikan pada 1833 M.

Dari namanya, kemungkinan masjid ini semula hanyalah sebuah langgar atau musala (musholla, tempat shalat; surau), yang terletak di atas sebuah rumah penginapan di tepi Kali Angke. Pada abad ke 19, kali ini masih merupakan jalur pengangkutan dan perdagangan yang sibuk. Adalah Abu Bakar Shihab, seorang saudagar muslim asal Yaman, yang kemudian mendirikan tempat penginapan ini dengan langgar di bagian atasnya.

Pada November 1833 Masjid Langgar Tinggi diperbaiki oleh Syekh Sa’id Na’um (Sa’id bin Salim Na’um Basalamah), seorang saudagar kaya asal Palembang yang kemudian menjabat sebagai Kapitan Arab di wilayah Pekojan. Kapitan Arab ini diserahi kewenangan untuk mengurus tanah yang diwakafkan oleh Syarifah Mas’ad Barik Ba’alwi, yakni lahan tempat Masjid Langgar Tinggi berdiri dan tempat pemakaman umum di Tanah Abang(kini menjadi lokasi Rumah Susun Tanah Abang di Kebon Kacang). Makam Syarifah Mas’ad Barik Ba’alwi ini berada di dekat Masjid Pekojan.

Setelah masa itu Masjid Langgar Tinggi mengalami beberapa kali renovasi. Kini bagian bawah masjid tidak lagi difungsikan sebagai penginapan, melainkan sebagai kediaman pengurus masjid dan ruang toko. Demikian pula, dengan semakin dangkalnya Kali Angke dan semakin kotor airnya, pintu ke arah sungai –yang dahulu kemungkinan dipakai sebagai akses langsung pelancong sungai ke penginapan dan ke masjid– kini ditutup.

2. Masjid Jami At Taibin, Senen

      View this post on Instagram

A post shared by a̾ᏞR͟ȏwΜ«aΜΎíᏞYΝ†ΜΊ (@abaady11_77) onAug 9, 2015 at 1:24pm PDT

Masjid Jami At Taibin didirikan oleh sejumlah pedagang sayur di Pasar Senen dan penduduk setempat sekitar 1815 namun baru tercatat di peta Batavia tahun 1918. Pembangunannya atas prakarsa mereka sendiri dan dari dana swadaya. Awalnya, masjid ini bernama Masjid Kampung Besar Kemudian berganti nama menjadi Masjid Imroni’ah dan baru pada tahun 1970-an, namanya diganti lagi menjadi At Taibin hingga saat ini.

Dalam perjalanan sejarahnya, masjid ini menjadi saksi dukungan dari para pedagang di pasar senen terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda dengan memberi dukungan logistik kepada para pejuang yang dikumpulkan di masjid ini.

Masjid ini juga menjadi tempat menyusun strategi menghadapi kekuatan belanda. Khususnya dalam pertempuran Senen, Tanah Tinggi dan Keramat. Di masjid ini pula para pejuang berkumpul dan mendapat siraman rohani. Tak heran, setelah keluar dari masjid ini, semangat juang mereka semakin menyala-nyala.

Pada tahun 1980-an, atau sekitar dua abad setelah berdirinya, masjid ini berhasil diselamatkan dari pembongkaran Segi Tiga Senen. Ketika masayarakat muslim melakukan perlawanan dan penolakan. Alhamdulillah, Gubernur saat itu secara diplomatis mendukung langkah kami. Dia mengatakan boleh dibongkar asal disetujui oleh alim ulama setempat.

Kini, ditengah gencar berubahnya wajah kota Jakarta, Mesjid Jami Attaibin seakan tenggelam oleh gemerlap gedung-gedung pencakar langit di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Meski begitu, kesejukan masjid ini kian terasa. Di sinilah para pegawai gedung-gedung itu sembahyang. Lingkungannya yang asri, menambah kekhusukan ibadah.

Selain tempat beribadah, Masjid At Taibin juga memiliki sejumlah fasilitas sosial lain seperti lembaga pendidikan sederhana untuk anak-anak, baitul mal, dan koperasi simpan pinjam.

3. Masjid Agung Matraman, Matraman

      View this post on Instagram

#masjidagungmataram

A post shared by Bôbby SeRvë (@enjoythedifferent) onOct 22, 2015 at 10:12pm PDT

Masjid Agung Matraman memang tak lepas dari aktivitas bekas pasukan Sultan Agung dari Mataram yang menetap di Batavia. Nama wilayah Matraman pun disinyalir karena dahulunya merupakan tempat perkumpulan bekas pasukan Mataram. Untuk menjalankan aktivitas keagamaan bekas pasukan Mataram mendirikan sebuah Masjid di kawasan tersebut. Masjid Jami’ Matraman semula merupakan gubuk kecil tempat pasukan Sultan Agung menjalankan sholat. Terletak di bekas kandang burung milik Belanda yang digunakan oleh orang Mataram sebagai pos komando panglima Mataraman.

Pada tahun 1837 dua orang generasi baru keturunan Mataram yang lahir di Batavia, H. Mursalun dan Bustanul Arifin (keturunan Sunan Kalijaga) memelopori pembangunan kembali tempat ibadah itu. Setelah selesai pembangunannya, dahulu masjid ini diberi nama Masjid Jami’ Mataraman Dalem. Yang artinya masjid milik para abdi dalem (pengikut) kerajaan Mataram. Dipilihnya nama itu dimaksudkan sebagai penguat identitas bahwa masjid itu didirikan oleh masyarakat yang berasal dari Mataram. Namun seiring perubahan zaman dan perbedaan dialek, nama Masjid Mataram pun berubah nama menjadi Masjid Jami Matraman.

Bangunan masjid masih berupa tumpukan batu batako Kemudian dibangun lagi oleh sekelompok warga Matraman yang diketuai orang Ambon yang bernama Nyai Patiloy (1930). H. Agus Salim juga pernah menjadi ketua pembangunan masjid ini. Belanda tidak setuju dengan pembangunan masjid yang berada di pinggir jalan dan memerintahkan supaya dibangun lebih ke dalam. Mereka berjanji akan membantu biaya sebesar 10.000 gulden.

Usul dari Belanda ini mendapat pertentangan dari pengurus pembangunan masjid bahkan sampai dipermasalahkan pada sidang Gemeenteraad. Masjid ini juga pernah mendapat bantuan dari Saudi Arabia (1940). Moh. Hatta, Bapak Proklamasi RI, dulu setiap Jumat selalu bersembahyang di masjid Jami Matraman dan di akhir hayatnya juga disembahyangkan di mesjid ini. Masjid Jami Matraman pertama kali dipugar pada tahun 1955-1960 dan dilanjutkan pada tahun 1977.

[Baca juga : "5 Masjid Tertua Dan Bersejarah Di Jakarta - Part 3"]

4. Masjid Jami Al-Ma'mur, Cikini

      View this post on Instagram

Masjid Al Ma'mur Cikini . . #masjid #mosque #building #oldarchitecture #streetphotography #cityscape #jakarta #canon #canonindonesia

A post shared by Antonius W (@haryocahyo) onJan 16, 2019 at 4:02am PST

Sejarah Masjid Jami Al-Ma'murdimulai pada tahun 1860, Raden Saleh dan masyarakat sekitar membangun sebuah surau disamping kediamannya (kini menjadi asrama perawat RS Cikini). Akibat kedekatan pelukis kondang ini dengan umat Islam setelah ia menikah kembali dengan wanita keturunan Kraton Yogyakarta ia dituduh terlibat dalam kerusuhan di Tambun (Kabupaten Bekasi). Kerusuhan tersebut digerakkan kelompok Islam yang menentang pemerintah kolonial Belanda. Meskipun tuduhan itu tidak terbukti, tapi Belanda tetap mengenakan tahanan rumah kepadanya.

Berdasarkan data yang dikeluarkan Yayasan Masjid Al Ma’mur, sesudah Raden Saleh meninggal dunia (1906), tanah itu dimiliki Sayed Abdullah bin Alwi Alatas, yang pemilikannya diperkuat oleh Keputusan Pengadilan Negeri No 694 tanggal 25 Juni 1906, sebagai suatu kelanjutan dari Keputusan Pengadilan Negeri No 145 tanggal 7 Juli 1905.

Tanah itu dibeli melalui sebuah pelelangan. Tanah yang sangat luas ini kemudian oleh Sayed Abdullah Bin Alwi Alatas, salah satu tokoh gerakan Pan Islam dijual kepada ‘Koningen Emma Stichingi’ (Yayasan Ratu Emma – yang bernaung di bawah Pemerintah Kolonial Belanda) dengan harga 100 ribu gulden. Tapi karena yayasan ini ingin membangun rumah sakit, harganya dikurangi menjadi 50 ribu gulden dengan penegasan bahwa masjid (surau) yang ada di sana tidak boleh dibongkar.

Keaslian Masjid Jami CIkini masih terkonservasi hingga kini, sebagai benda cagar budaya, Masjid Jami Cikini memang dirawat ke-asliannya termasuk tulisan nama masjid dalam huruf arab berikut dengan lambang Syarikat Islam di fasad depannya.

5. Masjid Baitul Mughni, Gatot Subroto

      View this post on Instagram

Masjid Baitul Mughni . Masjid Baitul Mughni berdiri megah di tepian jalan Gatot Subroto, Jakarta, gambar masjid ini seakan akan tercetak pada diding kaca gedung Menara Global yang terletak di sebelahnya. Posisinya yang tak terlalu jauh dengan perempatan Kuningan membuatnya sering disebut Masjid Kuningan. Masjid Baitul Mughni, Jakarta, menempati areal 6.000-an meter persegi di lokasi amat strategis di Kavling 26 Jalan Gatot Subroto, Kuningan, Jakarta Selatan. Selain terdapat masjid tiga tingkat di komplek masjid ini juga berdiri megah dua gedung Sekolah Islam Al-Mughni, masing-masing lima lantai, Pusat Kajian Hadis, dan Al-Mughni Islamic Center. . Masjid Baitul Mughni merupakan wakaf dari Guru Mughni, ulama kondang Betawi tahun 1940-an, masjid tiga lantai ini kii dikepung pusat perkantoran dan sentra bisnis segitiga emas Jakarta: Gatot Subroto, Sudirman-Thamrin, dan Rasuna Said. Menara Jamsostek, Gedung Telkom, Hotel Kartika Chandra, Wisma Argo Manunggal, serta pusat bisnis Mega Kuningan mengelilingi kompleks Al-Mughni. . Sejarah Masjid Baitul Mughni dimulai sejak tahun 1901. Ketika itu Guru Mughni baru pulang dari tanah Suci, kembali ke Batavia. Ia membeli lahan dan langsung mendirikan sebuah masjid kecil berukuran 13 x 13 meter yang pada awal pendiriannya belum memilki nama. Bahan bangunannya terdiri dari batu bata pada bagian dindingnya, lantainya berubin warna merah dengan beratapkan genteng . . ==================================== @masjidinfo 🌎 gudang informasi masjid di Nusantara dan mancanegara. 🌎 informasi dunia Islam. Baca artikel masjid menarik di blog kami : πŸ‘‰ bujangmasjid.blogspot.co.id πŸ‘‰ bujanglanang.blogspot.co.id πŸ‘‰ singgahkemasjid.blogspot.co.id . Tag @masjidinfo for repost (no selfie please) . ==================================== #masjidinfo

A post shared by masjidinfo (@masjidinfo) onAug 1, 2017 at 12:04am PDT

Sejarah Masjid Baitul Mughni dimulai sejak tahun 1901. Ketika itu Guru Mughni baru pulang dari tanah Suci, kembali ke Batavia. Ia membeli lahan dan langsung mendirikan sebuah masjid kecil berukuran 13 x 13 meter yang pada awal pendiriannya belum memilki nama. Bahan bangunannya terdiri dari batu bata pada bagian dindingnya, lantainya berubin warna merah dengan beratapkan genteng. Bentuk masjid itu adalah empat persegi dengan mihrab di depan sebagai tempat imam memimpin shalat. Meski demikian, jika dibandingkan dengan bangunan yang ada di wilayah lain saat itu, bangunan masjid ini tergolong bangunan mewah.

Dengan bertambahnya jumlah jamaah, ukuran masjid ini pun diperluas, bagian belakangnya ditambah dengan bahan bangunan dari anyaman bambu. Bagian belakang ini dimanfaatkan sebagai tempat mengaji dan bermalam bagi murid-murid Guru Mughni yang datang dari tempat tempat yang jauh. Belum ada menara masjid pada waktu itu. Baru menjelang Guru Mughni wafat dibuat menara. Setelah itu menyusul renovasi demi renovasi berikutnya. satu-satunya peninggalan masjid lamanya ya pilar masjid bekas tiang penyangga masjid di sebelah dalam.

Sejak pertama pendiriannya, Masjid Baitul Mughni berfungsi tak hanya sebagai tempat ibadah namun juga sebagai tempat pendidikan dan penyebaran ilmu-ilmu agama, bahkan saat itu masjid ini juga sebagai pusat informasi Ru’yatul Hilal (penentuan awal Ramadhan dan awal Syawal) bagi masyarakat Jakarta Selatan. Ketika itu, masjid ini melahirkan seorang tokoh ahli ilmu falak yakni K.H. Abdullah Suhaimi, yang juga menantu Guru Mughni sendiri. Ketika itu bisa dibilang masjid ini merupakan masjid rujukan bagi masjid-masjid kecil di sekitarnya. Seperti untuk menentukan kapan waktunya azan, biasanya masjid-masjid lainnya berpatokan pada masjid ini. Mereka tidak akan azan sebelum mendengar suara azan dari masjid ini. (Sumber: Artikel situsbudaya.id Foto jakarta-tourism.go.id)

...more

5 Masjid Tertua Dan Bersejarah di Jakarta - Part 3

DKI Jakarta

TripTrus.Com - Ditengah hingar-bingar DKI Jakarta, masih banyak berdiri bangunan-bangunan bersejarah, salah satunya adalah Masjid. Berikut ini  beberapa Masjid tua dan bersejarah yang masih kokoh berdiri di tengah angkuhnya ibu kota :

1. Masjid Jami' Al-Anwar, Angke

      View this post on Instagram

Masjid yg didirikan oleh seorang muslimah tionghoa yg bergaya hindu Bali, Eropa dan tionghoa pada tahun 1700-an. . Sudah menjadi cagar alam nasional sejak thn 1993 . #wisataedukasi #wisatakemasjid #wisatasekolah #masjid #masjidjamiangke @wisatasekolah

A post shared by shinta aryani dewi (@_shintaad) onJun 1, 2018 at 11:00pm PDT

Sejarah pendirian masjid ini berkaitan erat dengan peristiwa di zaman Jenderal Adrian Valckenier (1737-1741), beberapa kali terjadi ketegangan antara VOC dengan rakyat dan orang Tionghoa. Ketegangan memuncak pada tahun 1740 ketika orang-orang Tionghoa bersenjata menyusup dan menyerang Batavia. Karena kejadian ini, sang jenderal sangat marah dan memerintahkan pembunuhan massal terhadap orang-orang Tionghoa. Peristiwa ini diketahui Pemerintah Belanda, sang jenderal dimintai pertanggungjawaban dan dianggap sebagai gubernur jenderal tercela. Akibatnya, ia kemudian dipenjarakan Pemerintah Belanda pada tahun 1741. Dan tak lama kemudian sang jenderal pun akhirnya mati di penjara.

Sewaktu terjadi pembunuhan massal itu, sebagian orang Tionghoa yang sempat bersembunyi dilindungi oleh orang-orang Islam dari Banten, dan hidup bersama hingga tahun 1751. Mereka inilah yang kemudian mendirikan Masjid Angke pada tahun 1761 sebagai tempat beribadah dan markas para pejuang menentang penjajah Belanda. Masjid konon juga sering dipakai sebagai tempat perundingan para pejuang dari Banten dan Cirebon.

Berdasarkan sumber Oud Batavia karya Dr F Dehan, masjid didirikan pada hari Kamis, tanggal 26 Sya’ban 1174 H yang bertepatan dengan tanggal 2 April 1761 M oleh seorang wanita keturunan Tionghoa Muslim dari Tartar bernama Ny. Tan Nio yang bersuamikan orang Banten, dan masih ada hubungannya dengan Ong Tin Nio, istri Syarif Hidayatullah. Arsitek pembangunan masjid ini adalah Syaikh Liong Tan, dengan dukungan dana dari Ny. Tan Nio. Makam Syaikh Liong Tan, arsitek Masjid Jami Angke, yang berada di bagian belakang Masjid Jami Angke.

Menurut sejarawan Heuken dalam bukunya Historical Sights of Jakarta, kampung di sekitar Masjid Angke dulu disebut Kampung Goesti yang dihuni orang Bali di bawah pimpinan Kapten Goesti Ketut Badudu. Kampung tersebut didirikan tahun 1709. Banyak orang Bali tinggal di Batavia, sebagian dijual oleh raja mereka sebagai budak, yang lain masuk dinas militer karena begitu mahir menggunakan tombak, dan kelompok lain lagi datang dengan sukarela untuk bercocok padi. Selama puluhan tahun orang-orang Bali menjadi kelompok terbesar kedua dari antara penduduk Batavia (A Heuken SJ, 1997:166).

Selain orang-orang Bali, kampung sekitar masjid dulunya juga banyak dihuni masyarakat Banten dan etnis Tionghoa. Mereka pernah tinggal bersama di sini sejak peristiwa pembunuhan massal masyarakat keturunan Tionghoa oleh Belanda. Bahkan jika kita berkunjung ke tempat tersebut saat ini, akan kita lihat masih banyak warga etnis Tionghoa yang tinggal di perkampungan tersebut.

2. Masjid Jami Tambora, Tambora

      View this post on Instagram

With mosques, it's often difficult to guess if they're old or new. Some people get overzealous with upgrading or renovating them. Little expansion here, adding ceramic panels there, and the mosques look totally unrecognisable from the original. I'd thought that Masjid Jami Tambora (pictured above) and Tangerang's Masjid Jami Kalipasir were built pretty recently, perhaps in the last 30 or 40 years. It wasn't until I saw signs in front of the mosques that I came to understand that both were actually built in the 18th century.

A post shared by Heru Santoso (@sirhumphreyappleby) onFeb 3, 2019 at 6:23am PST

Masjid Jami Tambora dibangun pada tahun 1181 H (1761 M) oleh Kiai Haji Moestoyib, Ki Daeng, dan kawan-kawan. Mereka berasal dari Makasar dan lama tinggal di Sumbawa tepatnya di kaki Gunung Tambora. Pada tahun 1176 H (1756 M) KH. Moestodijb dan Ki Daeng dikirim ke Batavia oleh Kompeni karena menentang dan dihukum kerja paksa selama lima tahun.

Setelah hukuman selesai mereka tidak kembali ke Sumbawa, tetapi menetap di Kampung Angke Duri (sekarang Tambora) dan berkenalan dengan ulama setempat. Kemudian mereka menemukan ide untuk membangun sebuah masjid sebagai tanda syukur. Lokasinya sengaja dibuat di tepi Kali Krukut karena saat itu air kali masih jernih sehingga bisa dipakai untuk berwudlu.

Sumber lain menyebutkan, konon Masjid Tambora ini dibangun oleh H. Moestoyib, bersama seorang kontraktor Tionghoa Muslim yang berasal dari Makasar pada tahun 1761, kedua Muballigh itu ditahan oleh penguasa Belanda selama kurang lebih 5 Tahun dengan tuduhan makar, tetapi tuduhan itu tidak terbukti dan mereka pun dibebaskan, lalu penguasa Belanda memberikan sebidang tanah di luar tembok Batavia yang kemudian dibangun Masjid Tambora.

Sejak masjid selesai dibangun, peribadatan dimasjid ini dipimpin oleh K.H. Moestoyib sampai wafat. Haji Mustoyib dikuburkan di halaman depan masjid ini demikian pula dengan Ki Daeng. Guna kelanjutan kegiatan masjid setelah mereka wafat maka pada tahun 1256 H (1836 M) pimpinan masjid dialihkan kepada Imam Saiddin sampai wafat. Setelah itu masjid telah mengalami beberapa kali pergantian pimpinan. Terakhir pada tahun 1370 H (1950 M) pimpinan dipegang oleh Mad Supi dan kawan-kawannya dari gang Tambora. Masjid ini diperluas dan dipugar menyeluruh pada tahun 1980.

3. Masjid Jami Almubarak, Krukut

      View this post on Instagram

Diantara kebaikan Di bulan Ramadhan adalah menuntut Ilmu

A post shared by arfan latif (@arfan_latif) onJun 2, 2017 at 7:04pm PDT

Masjid Jami Almubarak atau Masjid Krukut adalah salah satu masjid tua di Jakarta, dibangun sesudah tahun 1785 di atas sebidang tanah luasnya 1.000 m2 yang disebut Cobong Baru. Dibangun oleh kaum peranakan Tionghoa di Batavia, setelah memperoleh izin dari Gubemur Jenderal Alting. Izin tersebut diberikan kepada kapitan Cina peranakan (Muslim) yang bernama Tamien Dosol Seeng. Pada abad ke-19 dan abad ke20 masjid ini mengalami perubahan besar. Sebuah mimbar kayu pantas dianggap karya besar seni ukir Tionghoa. Sayang sekali, bentuk ukiran mimbar itu tak tajam lagi akibat dilapisi cat perak tebal pada tahun 1975 dan kini mimbar tersebut raib tak jelas keberada’annya.

Perombakan dan pembangunan total masjid ini dilakukan tahun 1994 14 Januari 1994, diperluas oleh tanah wakaf yang diberikan Syech Abdul Khaliq A Bakhsh dan dilaksanakan oleh Abdul Malik Muhammad Aliun sebagai wakaf untuk umat Islam. Di kawasan Krukut kini sudah hampir tak ada lagi muslim Tionghoa yang bermukim disana dan justru lebih banyak di dominasi muslim keturunan arab.

[Baca juga : "5 Fakta Sejarah Tentang Pulau Penyengat"]

4. Masjid Jami’ Kebon Jeruk, Kebon Jeruk

      View this post on Instagram

Masjid Jami Kebon Jeruk Jakarta Kota Markaz Dakwah dan Tabligh Indonesia Malam Markaz setiap malam jum'at di seluruh dunia #masjidkebonjeruk #malammarkaz #markazdakwahtablighindonesia #dsas #khurujindonesia

A post shared by Jefry Berahim (@jefryberahim) onDec 21, 2018 at 2:07am PST

Menurut data dari Dinas Museum dan Pemugaran Provinsi Jakarta, Masjid Jami’ Kebon Jeruk, Kebon Jeruk didirikan oleh seorang Muslim Tionghoa bernama, Chau Tsien Hwu atau Tschoa atau Kapten Tamien Dosol Seeng di tahun 1786. Beliau adalah salah seorang pendatang dari Sin Kiang, Tiongkok yang kabur dari negerinya karena ditindas oleh pemerintah setempat.

Sesampai di Batavia, ia menemukan sebuah surau yang tiangnya telah rusak serta tidak terpelihara lagi. Kemudian di tempat tersebut, ia dan teman-temannya, sesama pendatang dari Tiongkok mendirikan mesjid dan diberi nama Masjid Kebon Jeruk. Alasan diberinya nama Masjid Kebon Jeruk, menurut petugas Istiqbal (humas-red) Masjid Kebon Jeruk, Abdul Salam, karena memang pada waktu itu di daerah ini ditumbuhi banyak pohon jeruk.

Jauh sebelumnya, tahun 1448 Masehi, di lokasi ini telah berdiri sebuah mesjid surau atau langgar. Bangunannya bundar, beratap daun nipah, bertiang empat, masing-masing penuh dengan ukiran. Siapa saja pendirinya tidak diketahui. Chan tsin Hwa beserta istrinya Fatima hwu tiba di Batavia pada tahun 1718, dan menetap di daerah Kebon Jeruk sekarang ini. Mereka ini adalah rombongan muhajirin (pengungsi) yang memeluk agama Islam, yang terpaksa meninggalkan negrinya karena terdesak oleh penguasa Dinasti Chien yang menganut agama leluhur mereka, Budha.

Selain nilai historisnya, masjid ini menjadi terkenal karena Masjid Kebon Jeruk sebagai pusat kegiatan tabligh dan dakwah Islam di Indonesia. Masjid Jami’ Kebon Jeruk ini menjadi markas kegiatan Jemaah Tabligh untuk wilayah Indonesia dengan kegiatan jamaahnya adalah melakukan penyebaran Islam dengan mengunjungi berbagai tempat di seluruh nusantara dan berbagai negara.

5. Masjid Az-Zawiyah, Pekojan

      View this post on Instagram

Masjid Az Zawiyah adalah salah satu masjid tua yang berada di kawasan Pekojan, Jakarta Barat. Masjid yang terletak di jalan Pekojan Kecil dibangun oleh Habib Ahmad bin Hamzah Alatas dari Tarim, Yaman Selatan. Biasanya di 10 malam terakhir Ramadhan ada tradisi buka bersama di beberapa masjid tua di Jakarta salah satunya adalah masjid Azzawiyah di setiap tanggal ganjil. Dengan adanya buka bersama ini, terlihat semakin eratnya umat muslim di Indonesia, terbukti tidak dari Jakarta saja yang menghadiri acara buka bersama ini, ada yang dari Jonggol, Bogor, Depok dan sekitarnya. Semoga dengan adanya tradisi seperti ini umat muslim di Indonesia semakin mesra hubungannya dengan sang Maha Pencipta. __ Foto : @sugoroaprian __ #iwashere #bukber #masjidazzawiyah #pekojan #jakarta #detikdetikterakhirramadhan #indonesia

A post shared by Irfan Ramdhani (@ramdhani_irfann) onJun 22, 2017 at 3:28am PDT

Masjid Az-Zawiyah merupakan salah satu masjid tua Jakarta yang berada di kawasan Pekojan. Masjid ini pertama kali dibangun oleh Habib Ahmad bin Hamzah Alatas pada tahun 1812M, Beliau adalah seorang ulama yang berasal dari Tarim, Hadramaut, Yaman. Dan juga dikenal sebagai tokoh yang memperkenalkan kitab “Fathul Mu’in” atau kitab kuning yang hingga saat ini masih dijadikan sebagai rujukan di kalangan pesantren tradisional.

Habib Ahmad bin Hamzah Alatas juga merupakan guru dari Habib Abdullah bin Muhsin Alatas, seorang ulama besar yang kemudian berdakwah di daerah Bogor. Ketika dibangun, masjid ini tidak saja merupakan sebuah bangunan untuk ibadah semata namun juga merupakan tempat penyelenggaraan pendidikan islam. Kini bangunan masjid ini dikelola oleh Yayasan Wakaf Al-Habib Ahmad Bin Hamzah Alatas.

Masjid Azzawiyah berada tidak jauh dari jalan Pekojan Kecil, awalnya hanya berupa mushola kecil, Mushola ini kemudian diwakafkan hingga sekarang dan kemudian menjadi sebuah masjid. Kawasan Pekojan juga dikenal sebagai Kampung arab meskipun pada awalnya dihuni oleh Muslim dari India. Saat ini di Pekojan terdapat 4 Masjid Jami’ dan 26 mushola beberapa diantaranya sudah eksis sejak era kolonial.

Masjid kecil ini begitu ramai dikunjungi oleh muslim keturunan arab terutama di hari Lebaran hingga hari ketiga. Tepat di depan Mushola ini berdiri rumah tua bergaya Moor, rumah tersebut sekarang ditempati keluarga Saleh Aljufri. Keluarga Saleh Al-Jufri ini adalah salah satu keturunan Arab yang masih tinggal di kawasan Pekojan. (Sumber: Artikel situsbudaya.id Foto bujangmasjid.blogspot.com)

...more

5 Fakta Sejarah Tentang Pulau Penyengat

Pulau Penyengat, Kep. Riau

TripTrus.Com - Pulau Penyengat adalah sebuah pulau di wilayah Kepulauan Riau. Belanda menyebutnya sebagai PUlau Mars. Pulau ini terletak di Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, yang berjarak kurang lebih 2 km dari pusat kota. Pulau ini berukuran panjang 2.000 meter dan lebar 850 meter, berjarak lebih kurang 35 km dari Pulau Batam. 

Pulau ini dapat ditempuh dari pusat Kota Tanjung Pinang dengan menggunakan perahu bermotor atau lebih dikenal pompong yang memerlukan waktu tempuh kurang lebih 15 menit. Pulau Penyengat merupakan salah satu objek wisata di Kepulauan Riau. Berdasarkan informasi yang dihimpun batamnews dari wikipedia dan berbagai sumber, berikut adalah keistimewaan Pulau Penyengat.

      View this post on Instagram

Goes to Pulau Penyengat.. . Pulau Penyengat di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, sedang bersiap untuk mengadakan Festival Pulau Penyengat 2019 yang diadakan pada 14-18 Februari. Acara ini dipusatkan di Balai Adat Melayu Pulau Penyengat. Banyak kegembiraan dapat ditemukan di Festival kali ini. Wisatawan yang datang dapat menikmati lebih dari 20 kegiatan seni budaya di sana, seperti lomba dayung, lomba dayung bantal di laut, lomba tangkap bebek di laut, lomba gurindam 12, dan kompetisi becak bermotor dekoratif. Tiga acara teratas adalah Malay Fashion Penyengat Serantau, Short Film Netizen Stinger Halal Competition, dan the Halal Competition Stinger Pattern Tour. #FestivalPulauPenyengat2019 #PulauPenyengatFest2019 #FestivalPulauPenyengatKepri #PesonaPulauPenyengatFest2019 #EnjoyPulauPenyengatFest2019 #WonderfulFestPulauPenyengat #YukKePenyangatFestival2019 #PesonaFestPulauPenyengat2019 #SemarakFestivalPenyengat2019 #PesonaWisataPulauPenyengat #PesonaIndonesia

A post shared by Edy Singomoto (@singomoto) onFeb 13, 2019 at 5:35pm PST

1. Pusat pemerintahan Kerajaan Riau

Pulau Penyengat pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Riau. Ketika itu namanya menjadi Pulau Penyengat Inderasakti.  Pada 1803, Pulau Penyengat awalnya dibangun sebagai pusat pertahanan. Pulau ini kemudian dibangun menjadi negeri dan  berkedudukan Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau-Lingga.

Ketika itu, Sultan berkediaman resmi di Daik-Lingga. Pada tahun 1900, Sultan Riau-Lingga pindah ke Pulau Penyengat.  Sejak itu lengkaplah peran Pulau Penyengat sebagai pusat pemerintahan, adat istiadat, agama Islam dan kebudayaan Melayu.

2. Pulau bersejarah

Pulau Penyengat merupakan pulau yang bersejarah. Pulau ini memiliki kedudukan penting dalam peristiwa jatuh bangunnya Imperium Melayu.  Peran penting tersebut berlangsung selama 120 tahun, sejak berdirinya Kerajaan Riau di tahun 1722, sampai akhirnya diambil alih sepenuhnya oleh Belanda pada 1911.

3. Jadi kubu pertahanan perang saudara di Johor

Awalnya pulau ini hanya sebuah tempat persinggahan armada-armada pelayaran yang melayari perairan Pulau Bintan, Selat Malaka dan sekitarnya.  Namun pada tahun 1719 ketika meletus perang saudara memperebutkan tahta Kesultanan Johor. Perang tersebut antara Raja Kecil, keturunan Sultan Mahmud Syah melawan Tengku Sulaiman, keturunan Sultan Abdul Jalil Riayatsyah.

Pulau Penyengat mulai dijadikan kubu pertahanan oleh Raja Kecil. Ia memindahkan pusat pemerintahannya dari Kota Tinggi (Johor) ke Riau di Hulu Sungai Carang (Pulau Bintan). 

Perang saudara itu dimenangkan oleh Tengku Sulaiman dan saudaranya. Mereka dibantu lima orang bangsawan Bugis Luwu, yaitu Daeng Perani, Daeng Marewah, Daeng Chelak, Daeng Kemasi dan Daeng Menambun.  Selanjutnya, Tengku Sulaiman mendirikan kerajaan baru yaitu Kerajaan Johor-Riau-Lingga, pada 4 Oktober 1722. Sedangkan Raja Kecil menyingkir ke Siak dan mendirikan Kesultanan Siak.

4. Ada banyak bangunan bersejarah

Bangunan bersejarah di Pulau Penyengat di antaranya yaitu Masjid Raya Sultan Riau, Mushaf Al-Quran, Istana Kantor dan Balai adat Melayu. Monumen Bahasa Melayu juga didirikan di pulau ini. Pada tanggal 19 Agustus 2013, diletakkan batu pertama pembangunan Monumen Bahasa Melayu di areal dalam bekas Benteng Kursi, Pulau Penyengat, oleh Gubernur Kepulauan Riau, HM Sani. 

Pembangunan monumen ini merupakan wujud penghormatan dan penghargaan Pemerintah Provinsi Kepri terhadap jasa-jasa Raja Ali Haji sebagai pahlawan nasional di bidang bahasa. Selain itu juga untuk lebih mengenalkan tentang asal dan arti bahasa Melayu yang dipakai di Kepulauan Riau dan Lingga, serta bahasa Indonesia yang digunakan saat ini.

[Baca juga : "4 Tempat Bersejarah Di Kota Cilegon"]

5. Pulau Mas Kawin

Pulau penyengat menjadi mas kawin Sultan Kasultanan Riau III Sultan Mahmud Syah untuk Raja Hamidah yang kemudian dikenal sebagai Engku Puteri Raja Hamidah. Mereka menikah pada tahun 1803.

Engku Puteri Raja Hamidah merupakan putri dari Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau IV, Raja Haji Fisabilillah. Setelah menikah dengan Sultan Mahmud Syah dan diberikan Pulau Penyengat, ia kemudian bermukim di pulau tersebut hingga akhir hayat pada 1844. Hingga saat ini, banyak keturunan Engku Puteri Raja Hamidah yang dimakamkan di tempat tersebut. Engku Puteri Raja Hamidah sendiri dimakamkan di kompleks pemakaman Dalam Besar. 

Pada kompleks tersebut, juga dimakamkan Raja Ali Haji yang dikenal sebagai pengarang Gurindam Dua Belas dan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Di kompleks itu pula dimakamkan Raja Ahmad dan Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau IX, Raja Abdullah. (Sumber: Artikel batamnews.co.id Fotokebudayaan.kemdikbud.go.id)

...more

4 Tempat Bersejarah di Kota Cilegon

Cilegon, Banten

TripTrus.Com - Pada tahun 1816 dibentuk Districh Cilegon atau Kewedanaan Cilegon oleh pemerintah Hindia Belanda dibawah Keresidenan Banten di Serang. Rakyat Cilegon ingin membebaskan diri dari penindasan penjajahan Belanda. Puncak perlawanan rakyat Cilegon kepada Kolonial Belanda yang dipimpin oleh KH. Wasyid yang dikenal dengan pemberontakan Geger Cilegon 1888 tepatnya pada tanggal 9 Juli 1888, mengilhami rakyat Cilegon yang ingin membebaskan diri dari penindasan penjajah dan melepaskan diri dari kelaparan akibat Tanam Paksa pada masa itu.

Pada masa 1924, di Kewedanaan Cilegon telah ada perguruan pendidikan yang berbasis Islam yaitu perguruan Al-Khairiyah dan madrasah Al-Jauharotunnaqiyah Cibeber. Dari perguruan pendidikan tersebut melahirkan tokoh-tokoh pendidikan yang berbasis Islam di Cilegon. Pada masa kemerdekaan, dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia rakyat Cilegon telah menunjukan semangat juangnya. Jiwa patriotisme rakyat Cilegon dan Banten pada umumnya dizaman revolusi fisik mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 telah ditunjukan dan terkenal dengan Tentara Banten.

1. Rumah Dinas Walikota Cilegon

      View this post on Instagram

Rumdin walikota Cilegon.. Indah bukan. @pemkotcilegon @ilovecilegon @cilegoneksiss @halocilegon

A post shared by ADI HARYADI (@adyvanhoutten93) onOct 25, 2018 at 10:38pm PDT

Rumah dinas Walikota Cilegon terletak di Jl. Jenderal Ahmad Yani, Jombang Wetan, Kec. Cilegon, Kota Cilegon, Banten 42416, merupakan bekas gedung kawedanan, sebagai kantor Asisten Residen Gubbels, hingga kini bangunan berarsitektur Eropa ini masih terpelihara dengan baik.

Bangunan ini menjadi saksi atas tragedi berdarah “Geger Cilegon” yang terjadi pada tahun 1888, dipimpin oleh KH. Wasyid.

Rumah bergaya Eropa bercorak oud Holland atau Belanda Kuno ini menggunakan serambi yang disangga oleh tiang-tiang bergaya doria, sebuah gaya dengan bantalan di bagian atasnya berbentuk segi empat dan badan tiangnya dihiasi motif gerigi bertaut. Model bangunan rumah ini oleh V.I van de Wall disebut sebagai gaya echt Indisch atau gaya Hindia Belanda yang sebenarnya. Daun pintu dan jendela pada bangunan ini memiliki corak tersendiri berjenis jalousie window atau jendela yang disusun dari tumpukan kayu yang tertata rapi horizontal.

Denah bangunan ini berbentuk empat persegi panjang, menghadap kearah timur. Didepan bangunan utama terdapat bangunan berbentuk joglo (semacam tempat pertemuan) dengan empat tiang utama ditengah dan sepuluh tiang kecil yang menopang atap bersusun dua.

Bangunan utama terdapat 5 terap anak tangga dibagian muka.Bagian serambi bangunan ini ditopang oleh 6 buah pilar berbentuk persegi empat berwarna putih,dua buah pilar dikiri dan kanan berbentuk pilaster (tiang semu). Dinding serambi berdaun jendela terbuat dari kayu berjenis jalosie window. Atap bangunan berbentuk limasan dengan konstruksi kayu. Gentingnya terbuat dari tembikar berwarna coklat, yang kini sudah diganti dengan genting berglasir.

Pintu masuk bagian depan berukuran besar (tinggi 3 meter) berjumlah 4 buah, keempatnya merupakan pintu rangkap, artinya memiliki dua lapis daun pintu. Daun pintu rangkap pertama terbuat dari bahan kayu dengan hiasan potongan kayu susun kebawah (jalosie) dan seperempat bagian berbentuk panil biasa, daun pintu rangkap kedua terbagi kedalam 4 bagian, 3 panil teratas diberi kaca, sebuah panil yang terletak dibawah berbentuk panil kayu biasa.

Pada bagian belakang bangunan ini terdapat halaman yang luas dan bangunan tambahan berbentuk barak. Bangunan yang disebelah kanan diperuntukkan untuk kantor, dan yang disebelah kiri diperuntukkan untuk garasi.

Dibagian selatan terdapat bangunan yang digunakan sebagai kantor. Bentuk bangunan ini bujur sangkar, atap bangunan bergaya joglo.

2. Stasiun Cilegon

      View this post on Instagram

Menunggu kereta terakhir.... #keretaapirangkasmerak #stasiuncilegon #poejalankaki #kotacilegon

A post shared by Poe Saputra (@saputrapoe) onAug 3, 2018 at 4:56am PDT

Stasiun Cilegon (CLG) adalah stasiun kereta api kelas II yang terletak di Jombang Wetan, Jombang, Cilegon. Stasiun yang terletak pada ketinggian +14 meter ini termasuk dalam Daerah Operasi I Jakarta.

Stasiun ini mulai dibuka pada tanggal 1 Desember 1899, dengan petak jalan Stasiun Serang-Stasiun Anyer Kidul sepanjang 27 km. Bangunannya terdiri dari dua buah ruangan: ruangan pertama adalah ruangan kontrol perjalanan kereta api dan ruang kepala stasiun, sedangkan ruang kedua merupakan loket dan administrasi. Bangunan stasiun ini merupakan salah satu dari lima bangunan cagar budaya yang ada di Kota Cilegon.

3. Stasiun Krenceng

      View this post on Instagram

Stasiun Kereta Api Kerenceng #shootonVIVOv9 #fotography #stasiunkrenceng #banten

A post shared by @ dinioktvni__ onJul 8, 2018 at 8:38am PDT

Stasiun Krenceng (KEN) merupakan stasiun kereta api kelas III/kecil yang terletak di Kebonsari, Citangkil, Cilegon. Stasiun yang terletak pada ketinggian +16,15 meter ini termasuk dalam Daerah Operasi I Jakarta. Stasiun ini memiliki tiga jalur dengan jalur 1 sebagai sepur lurus.

Stasiun kereta api Krenceng didirikan pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, sekitar tahun 1896 oleh Staatspoorwegen (Perusahaan Kereta Api Negara). Stasiun kereta ini menjadi penghubung dan jalur yang cukup vital menuju Batavia, melalui Serang, Rangkasbitung, dan Serpong.

Dahulu stasiun ini merupakan persimpangan menuju Anyer kidul lalu jalur ini ditutup pada tahun 1981 dan hanya digunakan hanya untuk kereta api babarandek (batu bara rangkaian pendek) tujuan Nambo dari Cigading.

Hanya ada satu kereta api yang melayani penumpang di stasiun ini, yaitu KA Lokal Merak.

[Baca juga : "3 Wisata Sejarah Di Tangerang Selatan"]

4. Rumah Maulana Hasanudin

Rumah Maulana Hasanudin terletak di Jalan Umar nomor 175-A, Lingkungan Temu Putih, Kelurahan Ciwaduk, Kecamatan Cilegon. Tipe rumah mewah pada zamannya itu bergaya oud indische stujl atau bergaya klasik Indis atau Hindia lama ini menggunakan serambi depan tinggi dan luas, sebelum 1974 masih digunakan sebagai tempat tinggal oleh Tuan Hanibal. Tetapi setahun berikutnya kosong tak berpenghuni sampai 1994. Kini rumah itu digunakan sebagai tempat pusat pendidikan anak sholeh Yayasan Maulana Hasanudin.

Kawasan perkampungan ini berada di Jalan Kyai Haji Undulusi, Kampung Pekuncen, Kelurahan Ciwedus, Kecamatan Cilegon, Kota Cilegon, Provinsi Banten. Kawasan ini merupakan permukiman kuno, hal ini terlihat dari beberapa bangunan rumah tradisional yang terdapat di sepanjang Jalan Kyai Haji Undulusi.

Salah satu rumah kuna yang ada di kawasan ini adalah rumah tinggal Ibu Tuasmah. Rumah tinggal ini tepat berada di depan Masjid Agung Kampung Pekuncen, dimana di bagian selatan berbatasan dengan Jalan Kyai Haji Undulusi, di utara berbatasan dengan rumah penduduk, bagian barat dan timur juga berbatasan dengan rumah penduduk. Menurut keterangan Ibu Tuasmah (70 tahun), rumah ini merupakan peninggalan dari orang tuanya yang berprofesi sebagai petani dan pedagang.

Rumah yang berukuran 12,60 m x 15,70 m tersebut, dibagi menjadi dua bagian dimana bagian barat ditempati oleh Ibu Tuasmah beserta keluarganya sedangkan bagian timur ditempati oleh Ibu Maadiah (adik ibu Tuasmah) beserta keluarganya. Bangunan ini disekat menggunakan pasangan bata berplester di bagian tengah, yang berfungsi sebagai pemisah antara rumah Ibu Tuasmah dan Ibu Maadiah. Ketebalan dinding penyekat bangunan tidak setebal dinding asli yang mempunyai ketebalan 26 cm. Dinding bangunan asli terbuat dari bata mentah dengan plesteran dari tanah dan kapur. Untuk mempermudah, selanjutnya bangunan ini akan disebut dengan rumah tinggal Ibu Tuasmah.

Bangunan ini berdenah segi empat dengan atap berbentuk pelana dan penutup atap berupa genteng tanah liat. Semula, penutup atap bangunan ini berupa “welit” yaitu daun pohon kelapa yang dikeringkan. Bangunan lebih tinggi 60 cm dibandingkan permukaan tanah di sekitarnya. Bangunan mempunyai selasar (teritisan) di bagian depan (selatan) selebar 90 cm yang atapnya berbeda dengan atap bangunan inti, sehingga atap bagian depan terlihat bersusun dua. Atap teritisan tersebut ditopang oleh empat tiang kayu serta beberapa konsul kayu yang menempel di dinding bangunan. Selasar atau teras depan ini berfungsi sebagai ruang transisi antara lingkungan luar dengan rumah tinggal. Bagian ini bersifat profan atau terbuka. (Sumber: Artikel gpswisataindonesia.info Foto id.railfansid.wikia.com)

...more

3 Wisata Sejarah di Tangerang Selatan

Tangerang Selatan, Banten

TripTrus.Com -  Pada masa penjajahan Belanda, wilayah ini masuk ke dalam Karesidenan Batavia dan mempertahankan karakteristik tiga etnis, yaitu suku Sunda, suku Betawi, dan Tionghoa.

Pembentukan wilayah ini sebagai kota otonom berawal dari keinginan warga di kawasan Tangerang Selatan untuk menyejahterakan masyarakat. Pada tahun 2000, beberapa tokoh dari kecamatan-kecamatan mulai menyebut-nyebut Cipasera sebagai wilayah otonom. Warga merasa kurang diperhatikan Pemerintah Kabupaten Tangerang sehingga banyak fasilitas terabaikan.

Pada 27 Desember 2006, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Tangerang menyetujui terbentuknya Kota Tangerang Selatan. Calon kota otonom ini terdiri atas tujuh kecamatan, yakni, Ciputat, Ciputat Timur, Pamulang, Pondok Aren, Serpong, Serpong Utara dan Setu.

Pada 29 Oktober 2008, pembentukan Kota Tangerang Selatan diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Indonesia, Mardiyanto, dengan tujuh kecamatan hasil pemekaran dari Kabupaten Tangerang yang telah disetujui oleh DPRD Kabupaten Tangerang pada 27 Desember 2006.

1. Situ Gintung

      View this post on Instagram

Bersandar melepas mentari, tanda tlah tiba saatnya kita ngopi :) . Lokasi: Situ Gintung, lewat pintu masuk kuburan lurus terus, ketemu lapangan tempat adu burung lurus, belokan ke dua setelah warung. . #dolanae #situgintung #tangsel #danausitugintung #tangerangselatan #kelanapesonaindonesia #senja #ngopi #tempatngopi #wisata #banten #jelajahbanten #visitbanten #ciputat #siluet #indonesia_photography #danau #jalanjalansore #mancingmania #mancing #pariwisata #pesonaindonesia #wonderfulindonesia #wonderfulplaces #travelphoto #travelphotography #indotravellers #instanusantarajakarta #enjoyjakarta #geonusantara

A post shared by Febri Amar (@febriamar) onDec 11, 2018 at 11:19pm PST

Pada masa penjajahan Belanda, wilayah ini masuk ke dalam Karesidenan Batavia dan mempertahankan karakteristik tiga etnis, yaitu suku Sunda, suku Betawi, dan Tionghoa.

Pembentukan wilayah ini sebagai kota otonom berawal dari keinginan warga di kawasan Tangerang Selatan untuk menyejahterakan masyarakat. Pada tahun 2000, beberapa tokoh dari kecamatan-kecamatan mulai menyebut-nyebut Cipasera sebagai wilayah otonom. Warga merasa kurang diperhatikan Pemerintah Kabupaten Tangerang sehingga banyak fasilitas terabaikan.

Pada 27 Desember 2006, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Tangerang menyetujui terbentuknya Kota Tangerang Selatan. Calon kota otonom ini terdiri atas tujuh kecamatan, yakni, Ciputat, Ciputat Timur, Pamulang, Pondok Aren, Serpong, Serpong Utara dan Setu.

Pada 29 Oktober 2008, pembentukan Kota Tangerang Selatan diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Indonesia, Mardiyanto, dengan tujuh kecamatan hasil pemekaran dari Kabupaten Tangerang yang telah disetujui oleh DPRD Kabupaten Tangerang pada 27 Desember 2006.

Awal pembentukan situ (danau) ini adalah sebagai waduk yang berfungsi sebagai tempat penampungan air hujan dan untuk perairan ladang pertanian di sekitarnya, dibuat antara tahun 1932-1933 dengan luas awal 31 ha. Kapasitas penyimpanannya mencapai 2,1 juta meter kubik. Situ ini adalah bagian dari Daerah Aliran Ci Sadane merupakan salah satu sungai utama Provinsi Banten dan Jawa Barat sumber berasal dari Gunung Salak dan Gunung Pangrango di (Kabupaten Bogor, sebelah selatan Kabupaten Tangerang) yang mengalir ke Laut Jawa panjang sungai ini sekitar 80 km dan bendungan aliran Kali Pesanggrahan. Di tengah-tengah situ terdapat sebuah pulau kecil yang menyambung sampai ke tepi daratan seluas kurang lebih 1,5 ha yang bernama Pulau Situ Gintung beserta hutan tanaman yang berada sekitarnya.

Semenjak tahun 1970-an kawasan pulau dan salah satu tepi Situ Gintung dimanfaatkan sebagai tempat wisata alam dan perairan di mana terdapat restoran,kolam renang,dan outbond.

Terhitung tahun 2011 Situ Gintung berubah nama menjadi Bendungan Gintung (sesuai dengan PP No. 37 Tentang Bendungan Tahun 2010).

2. Stasiun Sudimara

      View this post on Instagram

Jangan berharap akan menjadi pemenang jika tidak pernah kalah, taklukan apa yang ingin kamu taklukan dengan perjuangan! . Foto : @jonasiagianmoto #stasiunsudimara #ciputat #tangsellife #guetangsel #ilovetangsel #initangsel #tangsel #tangerangselatan

A post shared by Tangsel Life (@tangsel.life) onOct 23, 2018 at 6:20pm PDT

Stasiun Kereta Api Sudimara (SDM) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun Sudimara, merupakan salah satu stasiun kereta api yang berada di bawah manajemen  PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 1 Jakarta yang berada pada ketinggian + 28 m di atas permukaan lain, dan merupakan stasiun kereta api kelas III. Stasiun Sudimara terletak di Jalan Raya Jombang, Kelurahan Jombang, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Lokasi stasiun ini berada di sebelah selatan Pasar Jombang.

Bangunan Stasiun Sudimara yang lama merupakan bangunan peninggalan masa Hindia Belanda meski fasade bangunan ini sedikit mengalami perubahan dengan penambahan ruangan di sebelah kanan bagian depan. Pembangunan stasiun ini bersamaan dengan pembangunan jalur kereta api Duri-Rangkasbitung sepanjang 76 kilometer. Pengerjaan jalur kereta api ini dilakukan oleh Staatsspoorwegen (SS), perusahaan kereta api milik Pemerintah Hindia Belanda, pada tahun 1899 berbarengan dengan pengerjaan jalur kereta api Duri-Tangerang. Peresmian stasiun ini dilakukan pada 1 Oktober 1899.

Proyek jalur kereta api Duri-Rangkasbitung ini merupakan bagian dari proyek besar jalur kereta api jalur Barat jilid 2 (Westerlijnen-2) hingga Merak. Pengerjaan proyek jalur kereta api ini dilaksanakan searah. Setelah jalur rel Duri-Rangkasbitung selesai, maka dilanjutkan jalur rel Rangkasbitung-Serang-Cilegon (1900), dan Cilegon-Merak (1914).

Pada awal mulanya, Stasiun Sudimara ini berfungsi sebagai stasiun lintasan kereta api saja (Stopplaats), namun kemudian berubah menjadi stasiun kecil (halte) untuk melayani warga sekitar yang menjual hasil perkebunannya ke Batavia Zuid (sekarang Jakarta Kota) maupun Tanah Abang. Pada 16 Maret 1954, Direksi Djawatan Kereta Api menaikkan Stasiun Sudimara menjadi stasiun kelas IV.

Sekarang, stasiun ini menjadi stasiun kelas III. Akan tetapi sejak dioperasikan KRL (Kereta Listrik), atau dalam bahasa menterengnya disebut Commuter Line hingga Stasiun Maja di Tangerang, Stasiun Sudimara ini menjadi stasiun yang tergolong ramai, sibuk dan padat jadwal lintasannya. Hal ini juga tak terlepas dari perkembangan hunian yang ada di sekitar stasiun tersebut, karena Ciputat merupakan daerah penyangga Kota Jakarta.

[Baca juga : "13 Bangunan Bersejarah Di Pandeglang"]

3. Monumen Palagan Lengkong

      View this post on Instagram

MONUMEN PALAGAN LENGKONG. Monumen yang terletak di wilayah Lengkong Wetan, Serpong, Kota Tangerang Selatan, Banten, untuk sampai ke lokasi diperlukan usaha yang lebih karena letaknya tidak di jalur utama penghubung Kota Tangerang dengan Serpong, masuk dalam kawasan perumahan Bumi Serpong Damai. Sesampainya di lokasi yang pertama dijumpai adalah sebuah rumah dengan papan informasi di halaman depan, isinya menyatakan bahwa lokasi tersebut merupakan kawasan cagar budaya. Di rumah tersebut pada 25 Januari 1946 terjadi pertemuan antara Mayor Daan Mogot, Direktur Akademi Militer Tangerang, dengan tentara Jepang yang bertujuan untuk melucuti persenjataan tentara Jepang agar tidak jatuh ke tangan tentara Belanda. Perundingan dengan pihak Tentara Jepang dibawah pimpinan Kapten Abe dilakukan oleh Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo dan Taruna Alex Sajoeti, taruna Akademi Militer Tangerang. Letusan senjata dan rentetan mitraliur yang terjadi secara tiba-tiba ketika perundingan tengah berlangsung dan berujung pada terjadinya pertempuran tak seimbang yang berakhir dengan tewasnya 34 taruna dan 3 perwira TRI, yaitu Mayor Daan Mogot, Letnan Soebianto, dan Letnan Soetopo. Sedangkan Mayor Wibowo dan lebih dari 20 Taruna lainnya ditawan oleh Tentara Jepang. Sayangnya, saat ini rumah tersebut tidak digunakan sebagai museum hanya sebagai penanda lokasi saja. Lalu bergerak ke arah belakang rumah baru lah nampak terdapat monumen yang terletak di sisi kanan dari rumah. Monumen yang berbentuk bidang cekung setinggi lebih dari 2 meter berlapiskan marmer hitam dan tiang bendera yang terdapat di bagian atas dinding. Pada dinding monumen terdapat tulisan tinta emas yang berisikan catatan sejarah singkat terjadinya Peristiwa Lengkong dan nama-nama mereka yang gugur dalam peristiwa tersebut serta diapit oleh dinding-dinding rumput yang memunggungi jalan masuk yang membuat lokasinya jadi tersembunyi dari pandangan mata. . #monumenperistiwalengkong #monumenpalaganlengkong #lengkongwetan #tangerangselatan #bsd #wisatasejarah #sejarahkemerdekaan #gowessejarah #mayordaanmogot

A post shared by azwar muhlis (@azwar_muhlis) onDec 24, 2016 at 7:20pm PST

Monumen Palagan Lengkong terletak di Jl. Bukit Golf Utara No.2, Lengkong Wetan, Serpong, Kota Tangerang Selatan, Banten 15310

Daan Mogot adalah tentara PETA dengan pangkat mayor. Pada tanggal 25 Januari 1946, mayor bernama lengkap Elias Daniel Mogot itu ditugaskan untuk melucuti senjata tentara Jepang di Tangerang. Ketika itu Jepang telah resmi dinyatakan kalah dari Sekutu dalam Perang Dunia II. Misi pasukan Mayor Daan Mogot adalah untuk mencegah senjata Jepang jatuh ke tangan Belanda.

Mayor Daan Mogot memimpin 70 taruna tentara menuju tempat bermukim tentara Jepang di daerah Lengkong. Sampai di sana, Mayor Daan Mogot mengutarakan tujuan kedatangannya kepada Kapten Abe yang merupakan pimpinan pasukan Jepang. Proses pelucutan senjata yang mulanya berjalan damai menjadi pertempuran. Dalam baku tembak di Hutan Lengkong tersebut pasukan Mayor Daan Mogot terdesak dan kalah. Mayor Daan Mogot beserta dua perwira dan 34 taruna gugur.

Untuk mengenang perjuangan Daan Mogot, di bekas lokasi pertempuran didirikan Monumen Palagan Lengkong. Bangunan yang kerap disebut Monumen Lengkong tersebut berada di bagian depan Perumahan BSD. Tugu peringatan di daerah Lengkong tersebut berbentuk persegi panjang dengan tinggi lebih dari dua meter. Seluruh bangunan didominasi warna gelap.

Permukaan depan Monumen Lengkong berupa bidang lengkung dari marmer hitam. Di atasnya tertulis rangkaian kata menggunakan tinta emas yang berbunyi : “Pada Hari Jumat petang tanggal 25 Januari 1946, telah terjadi peristiwa berdarah di Lengkong / Serpong, dimana pasukan dari Akademi Militer Tangerang yang dipimpin oleh Mayor Daan Mogot yang tengah merundingkan penyerahan senjata dari Pasukan Jepang di Lengkong kepada Pasukan TRI secara tiba-tiba sekali telah dihujani tembakan dan diserbu oleh Pasukan Jepang, sehingga mengakibatkan gugurnya 34 Taruna Akademi Militer Tangerang dan 3 Perwira TRI, diantaranya Mayor Daan Mogot sendiri”. (Sumber: Artikel gpswisataindonesia.info Foto tangselmedia.com)

...more

13 Bangunan Bersejarah di Pandeglang

Kab. Pandeglang, Jawa Barat

TripTrus.Com - Pandeglang berada di bawah keresidenan Banten, sebagai ibukota dari wilayah Banten Tengah. Meskipun begitu, Pandeglang bukan merupakan sebuah kabupaten, tapi memiliki posisi sebagai daerah administratif yang menentukan dalam perpolitikan pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada saat itu (Dahlan dan Lasmiyati, 2007). Penetapan Pandeglang sebagai sebuah kabupaten terdapat dalam Staatblad Nomor 73 Tahun 1874, tentang pembagian daerah, dalam Ordonansi tanggal 1 April 1874. Dengan demikian, berdasarkan surat keputusan tersebut, Pandeglang merupakan kota yang didirikan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Hal tersebut diperkuat dengan bukti tinggalan bangunan kolonial yang ada di Kota Pandeglang, yang mengindikasikan bahwa kota ini memiliki tata kota kolonial bentukan pemerintah Hindia Belanda pada masa lalu.

1. Gedung Lembaga Pemasyarakatan Pandeglang

Bangunan LP atau Penjara terletak di Jalan Letnan Bolang, Kelurahan Pandeglang, Kecamatan Pandeglang, dengan jarak tempuh dari Ibu Kota Provinsi Banten berkisar 23 km. Bangunan penjara Pandeglang berdiri di atas lahan seluas kurang lebih 2.000 m2, luas bangunan 40 x 40 m2, dibangun sekitar tahun 1918, seiring berlakunya sistem kepenjaraan di Indonesia.

Sebelum tahun 1917 di Indonesia belum mengenal adanya pidana kurungan. Sistem ini diambil oleh pemerintah kolonial Belanda dari negara induknya, yakni Belanda. Hal ini sebenarnya merupakan cara pandang kaum liberalis sebagai perwujudan Revolusi Perancis yang sebelumnya memberlakukan hukuman pidana mati, potong tangan, dipukul, ditusuk dengan besi panas dan pidana buangan.

Keaslian bangunan masih tampak pada bangunan di dalam komplek. Hanya saja pada pintu gerbang yang terdapat di bagian depan telah terjadi perubahaan, mungkin penggantian ini dikarenakan pertimbangan keamanan karena komponen pintu tersebut sudah mulai lapuk.

2. Eks Gedung Sipir Belanda

Di antara bangunan bangunan kuno di sekitar Alun-Alun Menes, bekas gedung Sipir Belanda ini tampak unik dibandingkan bangunan yang sezaman. Bangunan ini termasuk bagian dari bangunan-bangunan kolonial yang masih tersisa yang diperkirakan dibangun sekitar tahun 1848. Sisa-sisa dari keseluruhan bangunan masih dapat dilihat di bagian belakang yang masih luas ke belakang. Kepurbakalaan ini berbentuk bujur sangkar dengan luas 20 m x 12 m. Pada bagian muka terdapat dua jendela dan satu buah pintu masuk. Kedua jendela mempunyai bentuk dan ukuran yang sama, yakni berbentuk persegi panjang dengan bentuk lubang angin seperti setengah lingkaran, yang terletak tepat di atas jendela dan di atas pintu masuk. Jendela diberi jeruji vertikal dan lubang angin berbentuk huruf “V” dan berbentuk setengah lingkaran. Terdapat dua tiang semu (pilaster) pada sudut bangunan dan dua pilaster yang mengapit bagian pintu. Pilaster ini memiliki hiasan berupa pelipit-pelipit. Pilaster bentuknya mirip pilar sebenarnya, hanya keletakannya yang menyatu dan menjadi bagian dari dinding. Atap bangunan ditutup genting. Terdapat semacam canopy yang menaungi pintu. Bangunan ini berada di Jalan Alun-Alun Barat Menes, Kelurahan Purwaraja, Kecamatan Menes dengan jarak tempuh sekitar 51 km dari Ibu Kota Provinsi, atau kurang lebih 28 km apabila ditempuh dari Kota Pandeglang. 3. Eks Gedung Kewedanaan Labuan

Bangunan Gedung Kewedanaan Labuan terletak di Jalan Pegadean, Kelurahan Labuan, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang. Fungsinya sekarang adalah sebagai gedung serbaguna. Jarak tempuh untuk mencapai ke lokasi sekitar 64 km dari pusat Ibu Kota Provinsi Banten dan hanya ditempuh 41 km dari Ibu Kota Kabupaten Pandeglang.

Bangunan ini berdiri di atas lahan ± 1000 m2. Luas bangunan 20 m x 22 m.  Berbentuk bujur sangkar, yang merupakan salah satu ciri arsitektur masa kolonial, sehingga bila terlihat tampak muka, simetris yang kokoh. Denah simetris ini memberikan kemudahan untuk melakukan penambahan pada samping bangunan. Bentuk bangunan ini berbentuk sederhana bergaya joglo dan memiliki sudut lancip di tengahnya. Penutup atap terbuat dari genteng. Pada bagian badan terdapat jendela dan pintu berukuran besar. Pada setiap dua jendela kaca terdapat daun jendela yang terbuat dari susunan kayu horisontal (jalosie window) sebanyak 4 buah pada masing-masing sisi bangunan. Tiga perempat daun pintu berbentuk jalosie window, sementara seperempat bagian bawah dihias motif panel persegi empat.

4. Gedung Pendopo Kecamatan Menes

Bangunan yang terletak di Jalan Alun-alun Timur Menes, Kelurahan Purwaraja, Kecamatan menes, Kabupaten Pandeglang ini sekarang berfungsi sebagai gedung serba guna. Peruntukkan awal bangunan ini adalah untuk persiapan gedung dinas Bupati Caringin. Bangunan ini merupakan salah satu bangunan tua yang masih tersisa dari beberapa bangunan kolonial yang diperkirakan dibangun sekitar tahun 1848.

Untuk menuju ke lokasi dapat ditempuh dengan kendaraan pribadi atau kendaraan umum, dengan jarak dari Ibu Kota Provinsi Banten sekitar 51 km atau hanya sekitar 28 km dari Ibu Kota Kabupaten pandeglang.

Arsitektur bangunan bekas Kewedanaan Menes ini merupakan gabungan antara arsitektur lokal berupa bangunan pendopo dan arsitektur kolonial yang diwakili oleh tembok-tembok berukuran tebal dan tinggi. Bangunan ini memiliki ukuran luas 20 m x 22 m. Arsitektur lokal terlihat pada bentuk atapnya yang memanjang, yang biasa disebut dengan istilah limasan.

Bentuk atap seperti ini banyak ditemukan pada bangunan-bangunan berarsitektur jawa. Terdapat dua bangunan tambahan pada bagian depan, yakni bangunan serambi, dan yang kedua menyerupai bantuk seperti koridor dan menyatu dengan bangunan utama. bangunan ini didirikan pada pondasi yang kokoh dan masif, terdapat tiga terap tangga untuk naik ke bangunan ini. Sisi-sisi atap diberi lisplang yang berfungsi sebagai penutup tiris berbentuk mata tombak. Beberapa tiang ukuran kecil menopang atap bangunan.

Bangunan ini berfungsi sebagai gedung dinas Camat kecamatan Menes. Mempunyai kesamaan bentuk dan arsitektur yang terdapat pada gedung Pendopo Kecamatan Pandeglang, gedung pendopo Kawedanaan Menes dan gedung Pendopo Kecamatan Saketi. Luas kawasan Kecamatan Menes ini ± 500 m2.

Di depan bangunan utama terdapat sebuah bangunan berbentuk joglo bertiang dua belas buah tiang kecil. Bangunan ini tidak berdinding penuh, dinding terdapat pada tiap sudut bangunan yang masing-masing menempel pada tiga tiang. Sementara bangunan utama mempunyai empat persegi dan pada puncaknya terdapat limas. Bangunan ini mempunyai dinding pada setiap sisinya. Sebagian dinding bagian bawahnya diberi lapisan batu andesit. Sampai  saat ini tanggal pendirian bangunan belum diketahui, karena belum ada sumber-sumber yang memadai. Tetapi diperkirakan sekitar tahun 1848, se zaman dengan bangunan pemerintahan kolonial yang ada di wilayah Menes.

5. Eks Gedung Pendopo Kewedanaan Menes

Bangunan yang terletak di Jalan Alun-alun Timur Menes, Kelurahan Purwaraja, Kecamatan menes, Kabupaten Pandeglang ini sekarang berfungsi sebagai gedung serba guna. Peruntukkan awal bangunan ini adalah untuk persiapan gedung dinas Bupati Caringin. Bangunan ini merupakan salah satu bangunan tua yang masih tersisa dari beberapa bangunan kolonial yang diperkirakan dibangun sekitar tahun 1848.

Untuk menuju ke lokasi dapat ditempuh dengan kendaraan pribadi atau kendaraan umum, dengan jarak dari Ibu Kota Provinsi Banten sekitar 51 km atau hanya sekitar 28 km dari Ibu Kota Kabupaten pandeglang.

Arsitektur bangunan bekas Kewedanaan Menes ini merupakan gabungan antara arsitektur lokal berupa bangunan pendopo dan arsitektur kolonial yang diwakili oleh tembok-tembok berukuran tebal dan tinggi. Bangunan ini memiliki ukuran luas 20 m x 22 m. Arsitektur lokal terlihat pada bentuk atapnya yang memanjang, yang biasa disebut dengan istilah limasan. Bentuk atap seperti ini banyak ditemukan pada bangunan-bangunan berarsitektur jawa. Terdapat dua bangunan tambahan pada bagian depan, yakni bangunan serambi, dan yang kedua menyerupai bantuk seperti koridor dan menyatu dengan bangunan utama. bangunan ini didirikan pada pondasi yang kokoh dan masif, terdapat tiga terap tangga untuk naik ke bangunan ini. Sisi-sisi atap diberi lisplang yang berfungsi sebagai penutup tiris berbentuk mata tombak. Beberapa tiang ukuran kecil menopang atap bangunan.

6. Gedung Kodim 0601 Pandeglang

Gedung Kodim 0601 Pandeglang terletak di jl. alun-alun No. 2 Pandeglang. Adapun ciri-ciri arsitektural kolonial yang dapat ditemui pada bangunan ini yang sudah menjadi ciri umum bangunan masa kolonial antara lain: model atap yang rendah, dengan satu buah pintu masuk depan dan komposisi vertikal, dibangun pada tahun 1918.

Bangunan ini mempunyai denah bujur sangkar dengan 4 terap anak tangga dan pondasi yang masif. Atap bangunan ini berbentuk atap limasan, namun iirisan gambar atapnya memiliki sudut lancip pada bagian atas dan luas atap hanya sedikit luas jika dibandingkan dengan luas dinding. Terdapat semacam atap tambahan yang menaungi bagian teras dan beberapa jendela, diduga bagian ini berfungsi sebagai pelindung dari tempias hujan. Pada bagian depan bangunan terdapat 4 buah pilar yan bergaya tuscan. di keempat sudut bangunan luar terdapat 4 pilar penopang. Secara umum dapat dikatakan bahwa bangunan ini bergaya arsitektur neo-klasik.

7. Eks Gedung Pendopo Kecamatan Saketi

Gedung ini beralamat di Jalan Raya Labuan, Kelurahan Purwasari, Kecamatan Saketi, Kabupaten Pandeglang. Jarak tempuh dari Ibu Kota Provinsi sekitar 42 km, sementara jarak tempuh dari Ibu Kota Kabupaten Pandeglang ± 19 km.

Keadaan bangunan ini sudah tidak terawat dan sebagian sudah mulai mengalami kerusakan. Luas bangunan sekitar 12 m x 18 m persegi. Bentuk atap bangunan ini menyerupai bentuk atap gedung bekas pendopo Kecamatan Pandeglang, yaitu atap limasan. Bangunan ini dulu berfungsi sebagai kantor Kecamatan yang kini menghuni gedung baru.

Sebagai bangunan yang memiliki gaya yang khas pada masanya, bangunan ini menjadi penting artinya bagi ilmu pengetahuan. Tampaknya bentuk atap limasan pernah menjadi model arsitektur atap rumah pada sekitar tahun 1847-an, hal ini mungkin disesuaikan dengan keadaan iklim di Indonesia.

8. Eks Rumah Dinas Komisaris Polisi

Rumah ini terletak di jalan Alun-alun Barat Menes, Kelurahan Purwareja, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang. Jarak tempuh dari pusat Ibu Kota Provinsi sekitar 51 km atau 28 km dari Ibu Kota kabupaten Pandeglang.

Semula berfungsi sebagai rumah Dinas Komisaris Polisi pada masa pemerintahan kolonial. Diperkirakan bangunan ini didirikan pada tahun 1848-an. Bangunan ini merupakan living monument dengan kondisi pemeliharaan cukup baik, sejak dibangun hingga sekarang belum mengalami perubahan maupun pemugaran yang sifatnya mendasar.

Luas tanah yang ditempati oleh bangunan ini seluas ± 400 m2. Sementara luas bangunan 14 m x 12 m. Sekarang bangunan ini masih dipergunakan untuk rumah tinggal Kepala POLSEK Kecamatan Menes.  Bentuk denah bangunan ini bujur sangkar, dengan bentuk atap limasan. Pada bagian belakang terdapat beberapa bangunan tambahan yang tampaknya merupakan bangunan pelengkap. Jarak tempuh dari pusat Ibu Kota Provinsi sekitar 51 km atau 28 km dari Ibu Kota kabupaten Pandeglang.

9. Eks Gedung Pendopo Kecamatan Pandeglang

Bangunan yang langka dan unik ini merupakan bangunan pendopo Kecamatan Pandeglang. Terletak di Jalan Letnan Bolang, Kelurahan Pandeglang, Kecamatan Pandeglang, Kabupaten Pandeglang. Dari pusat Ibu Kota Provinsi Banten untuk ke lokasi ini harus menempuh jarak sekitar 23 km, sedangkan jarak tempuh dari Ibu Kota Kabupaten Pandeglang 0,5 km.

Bangunan ini tampak menonjol dibandingkan dengan bangunan lain yang ada disekitarnya. Keunikan yang menonjol tampak dari bentuk atap bangunan yang berbentuk limasan dan mempunyai ukuran cukup besar. Bentuk atap seperti ini dipengaruhi oleh arsitektur venakular Jawa. Di bagian depan terdapat bangunan tambahan yang disangga oleh dua tiang polos. Bangunan yang berdiri di atas tanah seluas 500 meter persegi dengan luas bangunan ± 12 m x 18 m ini dibangun sekitar tahun 1848 dengan peruntukkan awal sebagai gedung dinas camat, sekarang dimanfaatkan sebagai kantor Dinas PU Pandeglang Bidang Kebersihan.

Keadaan bangunan relatif cukup baik dan terpelihara karena masih terus dipergunakan.

[Baca juga : "3 Bangunan Bersejarah Di Tangerang Yang Harus Dikunjungi"]

10. Eks Gedung Pendopo Kewedanaan Pandeglang

Letak gedung ini di jalan KH. Abdul Halim, Kelurahan Pandeglang, Kecamatan Pandeglang tepat di pusat Kota Pandeglang, yang berjarak sekitar 23 km dari Pusat Ibu Kota Provinsi Banten.

Semula gedung ini digunakan sebagai gedung dinas wedana. Berdiri di atas lahan seluas ± 1500 m2 dengan luas bangunan ± 20 m x 10 m.  Ditopang oleh pondasimasif setinggi 40 cm yang terbuat dari batu bata. Atap bangunan berbentuk limasan, terdapat bagian mirip entablatur di bagian atas. Pada bagian muka terdapat selasar yang diberi atap tambahan. Daun jendela dandaun pintu gedung ini berukuran besar dengan engsel dorong. Bangunan ini diperkirakan berdiri sekitar tahun 1848. Kini gedung yang telah direhabilitasi pada tahun 2004 berada dalam lingkungan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Pandeglang beralih pusat sebagai Bale Budaya.

11. Masjid Jami Al Khusaeni Carita

      View this post on Instagram

Bulit in 1889M #masjidalkhusaericarita

A post shared by Budi Hartono (@bharton88) onMay 11, 2018 at 5:24pm PDT

Ruang utama masjid ini dibatasi dinding pada keempat sisinya. Pintu terdapat pada sisi timur, utara dan selatan yang menghubungkan ruang utama dengan ruang serambi di sisi timur. Pada dinding sisi barat terdapat mihrab yang di sisi kanannya terdapat mimbar. Masjid Carita memiliki bentuk atap bertingkat atau tumpang yang berjumlah empat tingkatan. Atap tingkat keekmpat memiliki pagar langkan pada keempat sisinya. Puncak atap Masjid Carita ditutupi oleh sebuah mustoko. Seluruh kerangka atap ditutup oleh genting dan pada bagian lisplangnya terdapat deretan hiasan motif tumpal. Masjid Carita memiliki serambi pada keempat sisinya, yaitu serambi timur, utara dan selatan (serambi terbuka), sisi barat dan utara (serambi terbuka).

12. Masjid Salafiah Caringin

      View this post on Instagram

Selamat Menunaikan Ibadah Puasa. Photo : Masjid Agung Syekh Asnawi Sejarah : https://disbudpar.bantenprov.go.id/read/historic-mosque/626/MASJID-AGUNG-CARINGIN #pandeglang #explorepandeglang #explorebanten #banten

A post shared by Labuan & Sekitar (@infolabuan) onJun 6, 2016 at 11:41pm PDT

Didirikan sekitar tahun 1884 oleh penduduk Caringin secara bergotong royong yang dipimpin oleh Ulama Syekh Asnawi. Tidak jauh dari Masjid Caringin terdapat makam KH. Muhammad Asnawi (Syekh Asnawi bin Abdul Rohman) yang wafat pada tahun 1356 H (1937 M) yang terletak di tepi pantai, Desa Caringin , Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang.

Dari Ibukota Privinsi Banten berjarak sekitar 66 km atau 43 km dari kota Pandeglang.

13. Menara Air Kota Pandeglang

Menara Air ini terletak di Jl. Ciwasiat, Kelurahan Pandeglang Kecamatan Pandeglang tidak jahu dari bangunan Mesjid Agung Pandeglang, Kabupaten Pandeglang, jarak tempuh untuk mencapai ke lokasi ini sekitar 25 km dari pusat Ibu Kota Provinsi Banten, Serang.

Bangunan ini berbentuk slindrik yang berfungsi sebagai menara air (water tower) tinggi bangunan ini sekitar 25 meter dengan diameter 4 meter. Bangunan ini dibagi dua bagian, bagian bawah terbuat dari batu kali yang disusun sedemikian rupa terdapat pintu masuk yang terbuat dari besi dengan dua daun pintu yang dibingkai dengan lengkung sempurna.

Bagian atas berbentuk slindrik terbuat dari bahan semen. Bagaian atas digunakan untuk penampung air. Bangunan ini dibangun pada tahun 1884. (Sumber: Artikel humaspdg.wordpress.com Foto kabar-banten.com)

...more

3 Bangunan Bersejarah di Tangerang Yang Harus Dikunjungi

Tangerang

TripTrus.Com - Selain sebagai kota Mini Metropolitan, Kota Tangerang tenyata merupakan kota yang sarat akan sejarah dan budaya. Dalam sejarah  Kota Tangerang sendiri terdapat beberapa bangunan tua  paling bersejarah yang sangat terkenal dan banyak sekali di kunjungi oleh para wisatawan lokal, nasional maupun internasional.

Hal ini terbukti dari banyaknya blog atau situs yang menulis tentang sejarah kota Tangerang dan keanekaragaman budayanya serta tempat-tempat yang banyak mengandung sejarah yang berada di Kota Tangerang.

Menurut catatan Sejarah kota tangerang, kata kota tangerang berasal dari kata “Tangeran” yang dalam bahasa sunda berarti di sebut sebagai “tetengger atau tanda”. Namun karena adanya perberdaan dialek dari para tentara kompeni yang berasal dari Makassar pada waktu itu, maka kata ‘Tangeran” berubah menjadi kalimat “Tangerang”.

Panjangnya sejarah kota tangerang merupakan  sebuah perjalanan dan perjuangan yang dilakukan oleh warga Kota Tangerang dalam mencapai kemerdekaan pada masa penjajahan menyebabkan Kota Tangerang menjadi sebuah tempat yang banyak sekali meninggalkan bangunan-bangunan tua yang menyimpan sejarah Kota Tangerang.

Berikut 3  Bangunan Sejarah  Kota Tangerang yang paling Keren dan banyak dikunjungi yang sampai saat ini masih di pertahankan dan terawat secara apik dan rapih bahkan ada yang sudah mengalami perbaikan total namun tanpa menghilangkan view naturalnya.

1. Bendungan Pasar Baru

      View this post on Instagram

Bendungan Pasar Baru atau biasa di sebut bendungan Pintu Air Sepuluh. Bendungan ini dibangun pada tahun 1927 dan mulai berfungsi pada tahun 1932 di masa penjajahan Belanda. Tujuannya, bendungan ini menjadi pusat pengaturan dijit air di Tangerang. Kenapa di namakan Bendungan Pintu Air Sepuluh karena di bendungan ini terdapat 10 Pintu Air yang berfungsi menahan air dari hulu ke hilir dan mencegah terjadinya banjir. Dan saat ini Bendungan Pasar Baru sudah menjadi Cagar Budaya yang ada di Kota Tangerang, saya menyarankan Kepada Pemerintah @tangerangkota Agar Pintu Air Sepuluh ini dapat menjadi tempat wisata edukasi bagi anak2 sekolah maupun orang dewasa dengan mendirikan Museum tentang sejarah berdirinya Bendungan ini dan juga Area tempat wisata di sekitar Bendungan Pasar Baru untuk menarik wisata kota Tangerang dan mengenalkan kepada masyarakat luas @abouttng ....#Tangerangayo #TangerangBisa #KitaTangerang #WisataKotaTangerang #TangerangLive #ExploreTangerang #AboutTng #BendunganPasarBaru #BandunganPintuAir10 #bendungan #JelajahKotaTangerang #HowesKuy #GowesTangerang #WeekendGowes #janganlupabahagia #EdukasiWisata #LetsPlayLetsPray

A post shared by Faisal Al Bashir (@stiev12) onDec 15, 2018 at 7:31pm PST

Bendungan yang memanjang melintasi aliran sungai cisadane Kota Tangerang ini terletak di Jl. K.S. Tubun, Kelurahan Koang Jaya Kecamatan Karawaci Kota Tangerang, Provinsi Banten.

Bendungan Pasar Baru Kota Tangerang atau yang lebih popler dengan sebutan Pintu Air 10 ini dibangun pada tahun 1927 dan selasai serta di resmikan pada tahun 1930, artinya proses pembangunan bendungan ini memakan waktu sekitar 3 tahun.

Bendungan Pasar Baru Kota Tangerang ini awalnya difungsikan sebagai pusat pengairan persawahan seluas 40.663 hektar di wilayah tersebut. Pada awalnya bendungan Pasar Baru Kota Tangerang ini bernama bendungan Sangego yang kemudian berubah menjadi Bendungan Pintu Air Sepuluh.

Kekokohan dan kegagahan Bendungan ini membuat eksotisme tersendiri bagi para pelintas dan pengguna jalan di wilayah tersebut. Apalagi saat ini Pemerintah Kota Tangerang sudah menata dan mempercantik tampilan di sekitar Bendungan ,tentu saja hal ini membuat para pengguna jalan K.S. Tubun menjadi sedikit terobati saat jalananan macet membuat kendaraan mereka tersendat.

Selain sebagi peninggalan sejarah, bendungan Pasar Baru atau Pintu Air Sepuluh Kota Tangerang kini sudah menjadi destinasi wisata yang mampu menyedot minat masyarakat kota Tangerang khususnya masyarakat yang berada di sekitar kawasan tersebut.

2. Stasiun Kereta Api Tangerang

      View this post on Instagram

Stasiun Tangerang Selain melalui jalur Jalan Raya Pos dan Sungai Cisadane, inilah sarana transportasi utama yang menghubungkan Tangerang dan daerah sekitarnya. Diresmikan pada 2 Januari 1889, berdirinya Stasiun Tangerang bertepatan dengan dibukanya jalur kereta api Duri-Tangerang. Dibukanya jalur kereta api Duri-Tangerang tidak terlepas dari peran Tangerang sebagai daerah penghasil barang kerajinan, selain juga transit hasil perkebunan dari daerah Serpong. Karenanya, Staatspoorwagen (Badan Perkeretaapian Belanda) membuka jalur Duri-Tangerang sepanjang 19 kilometer dan melewati delapan stasiun. Bangunan stasiun sudah mengalami banyak perubahan. Terlebih, pada tahun 2000, sempat terjadi kebakaran yang menghanguskan bangunan stasiun di sisi timur. Bangunan asli yang di masa lalu didominasi oleh kayu pun sekarang berubah menjadi tembok dari semen dan batu bata. Beberapa bagian asli yang masih tetap dipertahankan hingga saat ini di antaranya jendela dan pintu besar yang sangat berat. Selain itu, di sisi barat stasiun (berada di luar area stasiun), terdapat sebuah sumur berdiameter sekitar 5 meter. Sumur yang oleh warga sekitar disebut Sumur Gede ini dulunya difungsikan sebagai sumber air untuk mengoperasikan mesin uap kereta api. Sumber: indonesiakaya[dot]com ----- Photo: @gratiamikha Location: Jalan Ki Asnawi, Tangerang ----- TheJourney: Tangerang January of 2017 #thejourney #travelblogger #stasiuntangerang #abottng #tangerang #benteng #bentengtangerang #banten #indotravellers #visitbanten #pesonaindonesia #indonesiadestination #beautifulplace

A post shared by Gratia Mikha Wikita (@gratiamikha) onFeb 14, 2017 at 10:24pm PST

Stasiun Kereta Api ini terletak di Desa Pasar Anyar, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang, Provinsi Banten. Berbatasan dengan pertokoan dan parkiran di sebelah utara, Pertokoan dan pemukiman di sebelah Timur dan Barat dan pemukiman di sebelah Selatan.

Stasiun ini merupakan lintasan akhir, karena tidak ada lintasan selanjutnya. Dibangun bersamaan dengan lintasan jalur kereta api Duri-Tangerang pada tanggala 2 Januari 1889. Stasiun yang bentuknya memanjang dari timur ke barat ini sudah mengalami banyak perubahan, baik dari segi bangunan maupun fasilitasnya.

Sekitar tahun 2000-an, stasiun ini tampak tertutup oleh kerumunan para pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya persis di depan wajah stasiun ini sehingga pintu utama dari stasiun kereta api ini nyaris  banyak yang tidak mengetahui lokasinya.

Namun Sekitar tahun 2014 hingga sekarang, pemerintah Kota Tangerang  mengadakan pembenahan dan penataan Kota di sekitar trotoar jalan tempat pedagang kaki lima berada, mereka dipindahkan lokasinya dan ditata sedemikian rupa. Alhasil, bangunan stasiun pun kini sudah terlihat jauh lebih apik, bersih dan rapi dan bahkan jika saat ini anda berkunjung ke Kota tangerang, Wajah Stasiun kereta api ini sudah jauh lebih bagus dan sangat nyaman untuk digunakan.

Disebelah utara terdapat papan pemberitahuan yang dikeluarkan oleh Pusat Pelestarian Benda dan Bangunan PT. KAI yang menerangkan bahwa Stasiun Kereta Api Tangerang merupakan Tempat Cagar Budaya yang dilindungi Oleh Negara.

3. Masjid Jami Kalipasir

      View this post on Instagram

Masjid Kali Pasir adalah masjid tertua di Kota Tangerang peninggalan Kerajaan Pajajaran.Masjid ini berada di sebelah timur bantaran Sungai Cisadane, tepatnya di tengah pemukiman warga Tionghoa kelurahan Sukasari.Bangunannya pun bercorak China.Masjid tertua di Tangerang ini mencerminkan kerukunan umat beragama pada masanya.Hingga kini masjid yang sudah berusia ratusan tahun tersebut masih digunakan sebagai tempat beribadah. Namun, masjid ini tidak lagi digunakan untuk salat Jumat. Caption copas dari Wikipedia @uploadkompakan #uploadkompakan #ukmasjid_palembang #genkabuabu23 #kompakerstangerang

A post shared by yenysurya (@yenysurya) onJun 20, 2018 at 4:27pm PDT

Masjid Jami'  Kalipasir terletak di Kampung Kalipasir, Kelurahan Sukasari, Kota Tangerang Provinsi Banten.

Masjid Jami’ Kalipasir dibangun pada tahun 1700 oleh  Tumenggung Pamitrawidjaja yang berasal dari Kahuripan dan kepengurusan masjid dilakukan secara turun-temurun. Pada tahun 1712, Masjid Jami' Kalipasir dikelola oleh Raden Bagus Uning Wiradilaga yang kemudian diteruskan oleh puteranya yang bernama Tumenggung Aria Ramdon pada tahun 1740 hingga tahun 1780.

Sepeninggalnya Tumenggung Aria Ramdon pada tahun 1780, kepengurusan Masjid Jami Kalipasir di turunkan kepada puteranya yaitu Aria Tumenggung Sutadilaga yang meninggal pada tahun 1823.

[Baca juga : "10 Tempat Dan Situs Bangunan Bersejarah Di Depok"]

Sekitar tahun 1830 kepengrusan Masjid Jami’ Kalipasir dilanjutkan oleh Raden Aria Idar Dilaga yaitu putera dari Aria Tumenggung Sutadilaga hingga tahun 1865 yang kemudian diteruskan kembali oleh putri dari Raden Aria Sutadilaga yang bernama Nyi Raden Djamrut bersama suaminya Raden Abdullah hingga tahun 1904 yang kemudian diteruskan oleh puteranya yang bernama Raden Jasin Judanegara sampai tahun 1961.

Di sebelah Barat Masjid Jami’ Kalipasir terdapat dua buah makam yang masing – masing berukuran 6x2M dan 4x2M. Pada makam yang berukuran 6x2M terbagi dalam dua bagian yaitu bagian satu berukuran 2x2M terletak di sebelah sisi timur dan berisi tiga pasang Nisan sedangkan bagian kedua berukuran 4x2M yang terletak di sebelah sisi barat dan berisi enam pasang Nisan.  (Sumber: Artikel papahkepo.com Foto kabar-banten.com)

...more

10 Tempat dan Situs Bangunan Bersejarah di Depok

Depok, Jawa Barat

TripTrus.Com - Jika di Jakarta terdapat Kota Tua yang dianggap sebagai Jakarta-nya tempo dulu, maka di Depok juga terdapat kawasan yang merupakan kota tua-nya depok yaitu yang disebut dengan Depok Lama. Kawasan Depok Lama ini meliputi seluruh Kelurahan Depok termasuk Jalan Pemuda dan sekitarnya, Jalan Siliwangi dan sekitarnya, Jalan Kartini dan sekitarnya, Stasiun KA Depok (dahulu bernama stasiun Depok Lama) dan sebagian Jalan Dewi Sartika. Tapi tidak hanya di Kawasan Depok Lama terdapat tempat dan situs bangunan bersejarah di Depok, masih banyak di luar kawasan tersebut yang juga mempunyai nilai sejarah.

Salah satu kawasan Depok Lama yaitu di sepanjang Jalan Pemuda di Kel. Depok, Kec. Pancoran Mas. Di sini masih dapat ditemui bangunan-bangunan bersejarah dengan arsitektur Belanda.

1. Monumen Cornelis Chastellain       View this post on Instagram

Selamat Hari Bela Negara! 19 Desember Tugu putih ini merupakan sebuah monumen pembebasan kaum budak yang didirikan pada 28 Juni 1914 atau tepatnya 200 tahun setelah wasiat dari Cornelis Chastelein mulai berlaku. Tapi tugu yang ada sekarang itu bukanlah yang asli sejak tahun 1914, karena baru dibangun kembali 28 Juni 2014. Alasannya adalah pada 1960 tugu ini sempat dihancurkan karena dianggap sebagai simbol antek-antek Belanda. Yuk, #ProtectAndPromote tugu bersejarah ini! πŸ“· @munzilalaily #WHCI2016 #WarisanDuniaKita #YOVETAGE #YOVETAGEDepok #DepokPeduliSejarah

A post shared by #DepokPeduliSejarah (@yovetage.dpk) onDec 19, 2018 at 6:12am PST

Monumen ini sekarang berada di halaman depan dalam areal Rumah Sakit Harapan Depok, rumah sakit pertama yang berdiri di Depok. Monumen ini didirikan pertama kali pada tahun 1914 masih di zaman pemerintahan kolonial Belanda dan merupakan tugu pertama yang ada di Depok ketika itu. Pada tahun 1960, tugu ini dihancurkan. Tidak ada yang tahu pasti kenapa tugu tersebut dihancurkan. Pada tahun 2002, Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC) merencanakan pembangunan kembali tugu tersebut namun belum mendapatkan izin dari pemerintah dengan alasan bahwa Cornelis Chastelein bukanlah seorang pejuang atau pahlawan dan sebuah tulisan kalimat pada tugu yang dianggap berbau SARA. Baru pada tahun 2014 tugu ini baru dibangun kembali setelah mendapat ijin serta dihilangkannya tulisan yang dianggap berbau SARA. Letak Monumen/Tugu Cornelis Chastellain berada di jalan Pemuda, Kel. Depok, Kecamatan Pancoran Mas, Depok. Berjarak kurang lebih 2 km dari Gedung Walikota Depok, Jl. Margonda. Kini tugu tersebut dianggap sebagai Titik Nol Km Depok. 2. Rumah Sakit Harapan Depok       View this post on Instagram

Tugu Cornelis Chastelein #exploredepok #history #cagarbudaya #depok #cornelischastelein #bekaskantorkepresidenandepok

A post shared by Enco Butarbutar (@enco_butarbutar) onDec 10, 2017 at 3:37am PST

Masih berada di kawasan Jalan Pemuda, dahulunya bangunan yang dijadikan rumah sakit ini adalah bangunan kantor dari Cornelis Chastellain yang merupakan pusat pemerintahan kotapraja Depok dimasa lampau. Diperkirakan bangunan tersebut dibangun pada tahun 1880. 3. SDN Pancoran Mas 2       View this post on Instagram

🚸SDN PANCORAN MAS 2🚸 Sepintas tak ada yang menarik dari 6 obyek foto berikut. Dalam kebersahajaannya, obyek foto ini justeru eksis membisu di daerah elite yi di bilangan Jln Pemuda di kantong Belanda Depok. Setelah ditilik lebih jauh, kita akhirnya melotot melihat tiang ramping penyangga bangunan yang adalah besi² baja tempo doeloe yang tak berkarat dimakan zaman & semua ruang kelas yang kita intai disini hanya menggambarkan bahwa bangunan tempo doeloe yang terbilang kuno & kini menjadi SDN Pancoran Mas 2 itu kurang kasihsayang dari pemkot maupun warga Depok. Egp. Itulah. Konservasi apapun selalu mudah diucapkan tapi sulit dilaksanakan. #sdnpancoranmas2 #streetphotography #gedungsekolah #eksismembisu #konservasi #pemkotdepok #egp #wargadepok #jlnpemuda #kantongbelandadepok #depokcity #westjavaindonesia PP, 23 Mei 2018.

A post shared by Parlin Pakpahan (@parlin_pakpahan_) onMay 23, 2018 at 2:21am PDT

Bangunan sekolah dasar ini dahulunya merupakan satu areal dengan bangunan RS Harapan Depok. Dimasa lalu, Cornelis Chastellain menggunakan bangunan ini sebagai tempat ia mengajar kepada para budak pekerjanya. 4. GPIB Immanuel       View this post on Instagram

1st Sunday 2019 Happy Sunday. Gbu #church #christian #lutheranchurch #worship #withmywife #pray and #prayer #joy #preperation #beforeandafter #starting #weekendworship #happysunday #1stsunday #gpibimmanueldepok #depok #depoklama #westjava #indonesia

A post shared by LOttositagram (@ottoberlindo) onJan 6, 2019 at 3:00am PST

Bagunan gereja ini dibangun pada tahun 1714. Awalnya bernama Gereja Jemaat Masehi dan kemudian berganti nama menjadi GPIB Immanuel. Sayangnya, Kawasan Depok Lama menurut YLCC, sekarang hampir 75 persen bangunan tua yang tersisa telah mengalami alih fungsi. Hal ini dikarenakan belum ditetapkannya bangunan-bangunan di Kawasan Depok Lama sebagai Cagar Budaya dan Kawasan Wisata Sejarah, sementara desakan atas nama kebutuhan ekonomi semakin tinggi sehingga terjadi perubahan fungsi bangunan menjadi minimarket, ruko dll. 5. Jembatan Panus       View this post on Instagram

. Panus. . . #jembatanpanus #panus #stevanusleander #depok #kotadepok

A post shared by Chin Mi (@aliakbarfikri) onJul 29, 2018 at 7:39pm PDT

Jembatan yang dibangun pada tahun 1917 oleh Stefanus Leander ini pada masa lalu jembatan ini merupakan jalan yang penghubung utama antara Depok dengan Bogor. Jembatan Panus menghubungkan Jalan Siliwangi dengan Jalan Tole Iskandar. Jembatan ini tidak lebar (sekitar 4 meter) dan hanya dapat dilalui satu kendaraan, karena itu bila ada dua kendaraan yang akan lewat dari dua arah yang berbeda harus dilakukan secara bergantian. Yang menarik, pada tiang-tiang beton penyangga jembatan ini terdapat garis ukur untuk mengukur ketinggian air sungai Ciliwung yang ada di bawahnya. Ketinggian air sungai Ciliwung yang berada di bawah Jembatan Panus ini juga menjadi indikator atau barometer debit air sungai Ciliwung setelah bendungan Katulampa di Bogor untuk kewaspadaan terhadap banjir di Jakarta. Kini jembatan ini hanya digunakan untuk akses ke sebuah kawasan perumahan dan sekitarnya, karena telah dibuatkan sebuah jembatan pengganti (dibangun pada tahun 1992) yang lebih lebar di sisi jembatan Panus. Walau demikian, jembatan pengganti ini disebut dengan Jembatan Panus Baru, dan jembatan sebelumnya disebut Jembatan Panus Lama. 6. Rumah Cimanggis       View this post on Instagram

Landhuis Cimanggis - Depok, Jawa Barat. 🏚 Setelah terabaikan bertahun-tahun, baru di September 2018 Landhuis Tjimanggis akhirnya ditetapkan sebagai cagar budaya. Sempat hanya dianggap sebagai ‘peninggalan penjajah yang korup’ sehingga dinilai layak diratakan dengan tanah. 🏚 Bukankah banyak gedung-gedung tua peninggalan kolonial di seluruh dunia, saksi bisu perjalanan suatu bangsa, yang akhirnya memperkuat identitas warga, dahulu kala memang dibangun dari hasil korupsi para penjajah? 🏚 Bukan tentang hasil rasywah Gubernur Jenderal VOC Van Der Parra. Tapi nilai dan pelajaran di baliknya, yang membuat Depok, penghubung Batavia dan Buitenzorg, menjadi suatu kota yang tumbuh dengan ingatan. 🏚 Kota yang tumbuh dengan suatu benang merah dalam rentetan sejarah. Apakah kita memilih menjadi bagian dari pencerah, atau ikut arus dalam pembangunan tanpa arah? Bukankah justru mereka menjadi pengingat bahwa kita sudah tidak lagi terjajah? 🏚 #rumahcimanggis

A post shared by iqbal himawan (@iqbalhimawan_) onJan 11, 2019 at 7:44am PST

Rumah ini dahulunya adalah tempat tinggal dari istri Gubernur Jendral VOC Robertus Van Der Parra. Kondisi bangunan yang dibangun selama 3 tahun tersebut 1775-1778, kini dalam keadaan rusak. Lokasi rumah ini berada di lahan RRI Radar Cimanggis, Depok.  Walaupun telah mendapatkan rekomendasi dari Tim Ahli Cagar Budaya agar Rumah Cimanggis ini menjadi Benda Cagar Budaya namun khabar terakhir yang beredar menyebutkan bahwa di areal tersebut akan dibangun sebuah kampus besar bernama Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII).   7. Rumah Pitung / Rumah Kapiten Cina Ada yang menyebut bahwa rumah tersebut adalah rumah singgah Pitung, jawara dan pahlawan Betawi. Ada pula yang menyebutnya sebagai Rumah Kapiten Cina, karena berada di kawasan pecinan Depok yaitu Pondok Cina. Sisa bangunan peninggalan bersejarah ini berada di dalam area perbelanjaan Margo City yang berada di Jalan Margonda, Pondok Cina, Depok. Sekarang bangunan tersebut dijadikan sebuah cafe diluar bangunan utama Margo City. 8. Masjid Jami Riyadussolihin Masjid yang terletak di Kampung Cikambangan, Kel. Kalimulya, Kec. Cilodong ini adalah masjid tertua yang ada di Depok. Dari bentuk fisik bangunan, masjid ini tidak memiliki kubah sebagaimana masjid-masjid saat ini. Konon masjid ini dibangun oleh Sunan Kalijaga saat melakukan penyebaran agama Islam di Depok. Ada juga yang memperkirakan bahwa masjid ini sudah ada sejak jaman Kerajaan Muara Beres periode tahun 1567-1579. Masyarakat setempat mengenal masjid ini dengan nama Masjid Jublegan. [Baca juga : "Letusan Krakatau, Kramat Karam, Dan Klenteng Tjoe Soe Kong"] 9. Tugu Batu Sawangan       View this post on Instagram

Boro boro modip motor Ama Turing jauh, Spion beda sebelah aja belom tau di ganti πŸ˜‚πŸ˜­ . . . . . . . . . Selamat pagi Bang karbat yang punya lapak di Parung Bingung, kapan jualan kopi liong di marih . . .#latepost #pulangmalutakkpulangrindu #pulangmalugakpulangrindu #sunriceditanahanarky #depok #parungbingung #sawangan

A post shared by Aditya Wahyu Kuntadi (@adityawahyu_k) onAug 25, 2017 at 3:37pm PDT

Tugu yang dibuat pada tahun 1979 dan lokasinya berada di Jalan Muchtar Sawangan ini merupakan simbol untuk mengingat perjuangan masyarakat sekitar bersama TKR melawan tentara Nica Belanda yang coba memasuki wilayah Sawangan pada tahun 1949. 10. Tugu Gong Bolong Tugu yang terletak di perempatan Jalan Tanah Baru ini di atas tugu terdapat sebuah replika Gong Bolong. Replika tersebut diambil dari cerita legenda masyaraka Tanah Baru mengenai Gong Bolong yang konon pada masa lalu di daerah Curug Agung, Tanah Baru sering terdengar bunyi-bunyian musik yang berasal dari gamelan. Setelah ditemukan, ternyata bunyi dari gamelan tersebut tidak ada yang memainkan. Ketika seorang tokoh ingin mengangkat seluruh perangkat gamelan tersebut namun tidak sanggup dilakukan sendirian dan hanya gong bolong dan alat pukulnya, gendang serta bende yang mampu diangkatnya. Setelah kembali ingin mengangkat perangkat gamelan lainnya, ternyata telah raib atau hilang. Demikian sedikit dari banyak tempat dan situs bangunan bersejarah di Depok. Semoga bermanfaat buat pembaca. (Sumber: Artikel depoknetizen.blogspot.com Foto x.detik.com)
...more

Letusan Krakatau, Kramat Karam, dan Klenteng Tjoe Soe Kong

Tanjung Kait, Kab. Tangerang

TripTrus.Com - "emak, bapak si nona mati, sayang disayang tiap malam saya tangisin, Kramat Karem ada lagunya", tiga kalimat tersebut adalah lirik Keramat Karam, lagu yang dinyanyikan almarhum Masnah Pang Tjin Nio dengan iringan Gambang Kromong (GK) Naga Mustika. Lagu itu mengabadikan saat-saat ketika sekujur kawasan pantai Tangerang dilanda tsunami akibat letusan Gunung Krakatau.

Tidak diketahui siapa pencipta lagu ini. Cerita tutur masyarakat Tionghoa Tangerang, atau Cina Benteng, menyebutkan lagu itu muncul tidak lama setelah tsunami melanda sekujur kawasan pantai dan menewaskan banyak orang.

      View this post on Instagram

Nothing can dim the light, which shines from within..

A post shared by Emma ( I am a nature lover ) (@tinjj88) onJul 30, 2017 at 9:25pm PDT

Versi lain lagu ini digubah Sanusi dan dinyanyikan dengan irama ragtime Orkes Kerontjong Sinar Djakarta. Yang membedakan, versi gambang keromong mendayu-dayu, versi keroncong agak sedikit menghentak. Liriknya juga relatif berbeda.

Cerita tentang letusan Gunung Krakatau 1883 dan dampaknya terhadap kawasan pantai Tangerang dan Batavia terekam dalam cerita tutur di Klenteng Tjoe Soe Kong dan ditulis Tio Tek Hong dalam buku Keadaan Jakarta Tempo Doeloe.

Tjoe Soe Kong adalah klenteng tertua di Tangerang. Letaknya di Kampung Tanjung Kait, Desa Tanjung Anom, Kecamatan Mauk, Kabupaten Tangerang, Banten. Warga sekitar, terutama keturunan Tionghoa Benteng, lebih suka menyebutnya Klenteng Tanjung Kait. Sedangkan nama lain klenteng ini adalah Rong Jia Yi Da Bo Gong Miao dan Qing Shui Zhu Sui.

Buku saku yang dikeluarkan pengelola menyebutkan Klenteng Tjoe Soe Kong dibangun akhir abad ke-17. Andries Teisseire, pedagang gula Belanda yang mencari komoditas sampai ke Tangerang, menulis adanya klenteng ini saat berkunjung ke Tanjung Kait tahun 1792.

Informasi resmi menyebutkan klenteng dibangun imigran dari Propinsi Anxi, Hokkian, Tiongkok Selatan. Semula, klenteng dibangun dengan sangat sederhana, dan menjadi daya tarik setelah mendapat banyak sumbangan benda-benda khas klenteng dari pedagang-pedagang Cina di Batavia.

Berbeda dari kebanyakan klenteng di pesisir Pulau Jawa, Klenteng Tjoe Soe Kong tidak dibangun untuk menghormati dewa, tapi seorang shinshe yang hidup di era Dinasti Song. Tjoe Soe Kong, nama tabib itu, berasal dari Propinsi Cuanciu, Propinsi Hokkian.

Selama hidup, Soe Kong mengabdikan diri untuk mengobati penduduk yang sakit. Ia mendatangi rumah-rumah penduduk yang sakit, mengobati, dan memberi obat, tapi tak pernah mau diberi imbalan. Versi lain menyebutkan Tjoe So Kong lahir saat Cina diperintah Kaisra Ren Cong dari Dinasti Song. Tahun 1083, wilayah Anxi dilanda kekeringan parah. Tjoe Soe Kong memimpin upacara meminta hujan, dan berhasil. Ia diminta menetap di Anxi, tepat di kaki Gunung Peng Lai. Setelah meningal, masyarakat Anxi yang petani tebu mendirikan klenteng untuk menghormati Tjoe Soe Kong.

Di Mauk, masyarakat Tionghoa -- yang juga menanam tebu dan membuat gula -- mendirikan klenteng yang sama. Semula, Klenteng Tjoe Soe Kong di Mauk berupa gubuk tapi menjadi bukti masyarakat yang mapan. Klenteng menjadi pusat pertemuan komunitas Tionghoa di Mauk dan kampung-kampung lain sepanjang pantai Tangerang.

[Baca juga : "Menjelajahi Pesona White Sand Island Bintan Yang Memukau"]

Tahun 1883, saat Gunung Krakatau meletus, Klenteng Tjoe Soe Kong adalah satu-satunya bangunan selamat dari tsunami. Rumah-rumah penduduk di sekitar klenteng tersapu air bah. Banyak keluarga kehilangan orang tercinta. Seorang seniman orkes gambang, saat itu gambang belum dikenal, mengabadikannya dalam lagu berjudul Kramat Karam atau Gambang Kramat.

Wirya Dharma, sesepuh warga Tionghoa Mauk dan generasi kelima imigran asal Anxi, mengatakan klenteng direnovasi tahun 1959 oleh Lim Tiang Pah -- anak Lim Tju Ban, anak Lim Tjeng Houw yang selamat dari tsunami karena berlindung di klenteng.

Kini, klenteng diperbesar, indah, dan menjadi salah satu tempat wisata di Tangerang. Penduduk juga membangun altar untuk Hok Tek Ceng Sin, dewa bumi yang banyak dipuja penduduk Tionghoa di pesisir Pulau Jawa. Ada pula altar untuk Embah Rachman, Empe Dato, dan Dewi Neng. Bagian belakang klenteng adalah vihara Buddha. Pada hari-hari tertentu, klenteng menggelar acara yang dihadiri warga dari luar Tangerang.

Klenteng Tjoe Soe Kong juga saksi bisu Pembantaian Cina 1740 di Batavia. Saat itu, ratusan warga Tionghoa Batavia yang selamat melarikan diri ke Mauk. Sebagian menetap, dan lainnya melanjutkan pelarian sampai ke seberang Sungai Cisadane dan menetap di desa-desa di Kecamatan Panongan saat ini. (Sumber: Artikel sportourism.id Foto onthehardway.blogspot.com)

...more

Menjelajahi Pesona White Sand Island Bintan yang Memukau

Pulau Bintan, Kep. Riau

TripTrus.Com -  Kalau kamu pengin cari suasana pantai dan laut yang biru memukau. Lengkap dengan keindahan pasirnya yang putih dan angin sepoi-sepoi, sepertinya Pulau Beralas Pasir adalah lokasi yang tepat.

Pulau yang lebih dikenal dengan sebutan White Sand Island ini sebenarnya milik pribadi. Tapi sudah dibuka untuk masyarakat umum sejak dua tahun lalu.

      View this post on Instagram

#whitesandislandbintan #rentalmobilbintan #aldearentcarbintan

A post shared by rental mobil wisata bintan (@arcbintan) onSep 22, 2017 at 9:07pm PDT

Di pulau ini, kamu bisa menikmati suasana pantai yang kece dan belum begitu ramai oleh wisatawan lain. Berenang, snorkeling, maupun mengarungi laut dengan kano, tinggal pilih mana yang paling seru untuk dilakukan.

[Baca juga : "5 Wisata Mini Eropa Yang Bisa Kamu Kunjungi Di Indonesia"]

Untuk mencapai lokasi White Sand Island ini cuma perlu menempuh perjalanan berkendara selama satu jam dari Kota Tanjungpinang kok. Harga tiket masuk per orangnya dipatok 100 ribu rupiah dan sudah termasuk fasilitas antar jemput ke pulau.So, siap menambah target lokasi liburan selanjutnya? Mari! (Sumber: Artikel netz.id Foto bintan-resort.com)

...more
ButikTrip.com
remen-vintagephotography
×

...